Novel Atheis juga memiliki gaya bahasa yang khas dan menarik. Achdiat Karta Mihardja menggunakan bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Sunda, yang merupakan bahasa ibunya. Ia juga menggunakan berbagai istilah asing, seperti dari bahasa Belanda, Inggris, Arab, dan Latin, yang menunjukkan luasnya wawasan dan pengetahuannya. Ia juga menggunakan berbagai teknik sastra, seperti dialog, monolog, flashback, dan simbolisme, yang membuat novel ini menjadi hidup dan dinamis.
Novel Atheis adalah sebuah novel yang layak dibaca oleh siapa saja yang tertarik dengan sastra, sejarah, dan filsafat Indonesia. Novel ini memberikan kita gambaran tentang keadaan dan pemikiran bangsa Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan, yang masih relevan hingga saat ini. Novel ini juga memberikan kita inspirasi untuk terus mencari dan menemukan kebenaran, baik secara religius maupun rasional, yang sesuai dengan hati nurani kita.
Kesimpulan
Novel Atheis bukan sekadar novel tentang kehilangan iman. Ia memaparkan pencarian makna hidup yang jujur dan berani. Novel ini mengajak kita berdialog, mempertanyakan keyakinan, dan memahami keraguan sebagai bagian dari perjalanan spiritual.
Meski terbit di pertengahan abad ke-20, Novel “Atheis” tetap relevan hingga kini. Ia menjadi cermin bagi siapa pun yang pernah mempertanyakan iman, nilai-nilai, dan eksistensi diri. Kisah Hasan mengingatkan kita bahwa pencarian makna adalah proses dinamis, penuh pergulatan, dan tak selalu berujung pada jawaban pasti.