Diksia.com - Novel Atheis adalah salah satu karya sastra klasik Indonesia yang ditulis oleh Achdiat Karta Mihardja pada tahun 1949, bukanlah bacaan religi biasa. Ia mengajak kita menyelami batin Hasan, pemuda desa didikan agama yang taat. Sejak kecil, ia menyerap ajaran Islam dari sang ayah, seorang pensiunan mantri guru dengan tirakat kuat. Iman dan keyakinan Hasan kokoh, tak tergoyahkan.
Namun, kehidupan membawa Hasan ke Bandung. Di rantau urban yang dinamis, ia berjumpa realitas asing. Pergolakan intelektual pun dimulai. Pemikiran filsafat materialisme, diskusi dengan kawan, dan pengalaman hidup yang pahit, pelan-pelan mengikis keimanan Hasan. Ia mempertanyakan landasan keyakinan, mencari jawaban atas keraguan yang menggerogoti.
Perjuangan Hasan bukan sekadar penolakan dogma. Ia bergumul dengan logika, sains, dan ketidakadilan sosial yang ia saksikan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar menyerangnya: Jika Tuhan ada, mengapa penderitaan merajalela? Bisakah logika dan keyakinan berjalan beriringan? Di manakah letak kebenaran di tengah gejolak batin yang hebat?
Latar Belakang Novel Atheis
Achdiat Karta Mihardja adalah seorang penulis, jurnalis, dan redaktur yang lahir di Cibatu, Garut, pada tahun 1911. Ia pernah bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia dan menjadi teman dekat dengan penyair terkenal Chairil Anwar. Ia menulis novel Atheis antara bulan Mei 1948 dan Februari 1949, di tengah-tengah situasi politik dan sosial yang kacau akibat perang kemerdekaan Indonesia. Novel ini terbit pertama kali pada tahun 1949 oleh Balai Pustaka, penerbit resmi pemerintah saat itu.
Novel Atheis mendapat sambutan yang beragam dari para pembaca dan kritikus. Beberapa tokoh agama, Marxis, dan anarkis mengecam novel ini karena dianggap tidak menggambarkan dengan baik ideologi mereka. Namun, banyak juga yang memuji novel ini sebagai karya sastra yang orisinal, inovatif, dan berani. Novel ini juga dianggap sebagai salah satu novel terbaik Indonesia yang menggambarkan realitas sosial dan budaya bangsa Indonesia pada masa transisi dari kolonialisme ke kemerdekaan.
Alur Cerita Novel Atheis
Novel Atheis menggunakan tiga gaya narasi, yaitu narasi orang pertama, narasi orang ketiga, dan tulisan tokoh Hasan. Novel ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama yang menceritakan masa lalu Hasan di desa, dan bagian kedua yang menceritakan masa kini Hasan di kota. Berikut adalah ringkasan alur cerita novel Atheis:
Bagian Pertama: Masa Lalu Hasan di Desa
Hasan adalah seorang pemuda desa yang taat beragama Islam. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang seorang pensiunan guru agama dan penganut tarekat Naqsyabandiyah. Hasan belajar ilmu agama dengan tekun dan rajin beribadah. Ia juga memiliki adik angkat bernama Fatimah, yang sangat mencintainya.
Hasan bercita-cita menikahi Rukmini, teman sekolahnya yang cantik dan cerdas. Namun, Rukmini sudah dijodohkan dengan seorang pria kaya di Batavia oleh orang tuanya. Hasan merasa kecewa dan putus asa. Ayahnya kemudian menyarankan Hasan untuk menikahi Fatimah, tetapi Hasan menolak. Hasan memutuskan untuk merantau ke kota Bandung untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah.
Bagian Kedua: Masa Kini Hasan di Kota
Di kota Bandung, Hasan bertemu dengan berbagai macam orang dan pemikiran yang baru baginya. Ia berteman dengan Rasyid, seorang pemuda yang berpaham Marxis-Leninis, yang mengajaknya untuk bergabung dengan gerakan revolusioner. Ia juga berkenalan dengan Anwar, seorang penulis yang berpaham nihilis, yang menantangnya untuk meragukan segala sesuatu, termasuk agama. Ia juga mengenal Kartini, seorang wanita modern yang bekerja sebagai wartawati, yang menarik hatinya.
Hasan mulai mengalami pergolakan batin dan iman. Ia merasa bingung dan tidak yakin dengan apa yang ia percayai selama ini. Ia mulai mempertanyakan kebenaran agama, Tuhan, dan nasib manusia. Ia juga merasa terjebak antara cinta dan kewajiban. Ia tidak bisa menikahi Kartini karena ia sudah beristri dengan Fatimah, yang ia tinggalkan di desa. Ia juga tidak bisa kembali ke desa karena ia merasa tidak cocok dengan kehidupan tradisional di sana.
Pada akhir novel, Hasan terlibat dalam sebuah aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan tentara Belanda. Hasan terluka parah dan meninggal di rumah sakit. Sebelum ia mati, ia sempat menulis surat kepada ayahnya, yang mengungkapkan perasaan dan pemikirannya yang terakhir. Hasan mengaku bahwa ia telah menjadi seorang atheis, yang tidak percaya kepada Tuhan maupun agama. Ia juga meminta maaf kepada ayahnya, Fatimah, dan Kartini, yang ia sayangi.
Analisis Novel Atheis
Novel Atheis adalah sebuah novel yang sarat dengan makna dan pesan. Novel ini menggambarkan konflik antara agama dan rasionalitas, antara tradisi dan modernitas, antara idealisme dan realisme, yang dialami oleh banyak orang Indonesia pada masa itu. Novel ini juga menunjukkan bagaimana pengaruh Barat, terutama Eropa, terhadap pemikiran dan budaya Indonesia, baik secara positif maupun negatif.
Novel Atheis juga memiliki gaya bahasa yang khas dan menarik. Achdiat Karta Mihardja menggunakan bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Sunda, yang merupakan bahasa ibunya. Ia juga menggunakan berbagai istilah asing, seperti dari bahasa Belanda, Inggris, Arab, dan Latin, yang menunjukkan luasnya wawasan dan pengetahuannya. Ia juga menggunakan berbagai teknik sastra, seperti dialog, monolog, flashback, dan simbolisme, yang membuat novel ini menjadi hidup dan dinamis.
Novel Atheis adalah sebuah novel yang layak dibaca oleh siapa saja yang tertarik dengan sastra, sejarah, dan filsafat Indonesia. Novel ini memberikan kita gambaran tentang keadaan dan pemikiran bangsa Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan, yang masih relevan hingga saat ini. Novel ini juga memberikan kita inspirasi untuk terus mencari dan menemukan kebenaran, baik secara religius maupun rasional, yang sesuai dengan hati nurani kita.
Kesimpulan
Novel Atheis bukan sekadar novel tentang kehilangan iman. Ia memaparkan pencarian makna hidup yang jujur dan berani. Novel ini mengajak kita berdialog, mempertanyakan keyakinan, dan memahami keraguan sebagai bagian dari perjalanan spiritual.
Meski terbit di pertengahan abad ke-20, Novel “Atheis” tetap relevan hingga kini. Ia menjadi cermin bagi siapa pun yang pernah mempertanyakan iman, nilai-nilai, dan eksistensi diri. Kisah Hasan mengingatkan kita bahwa pencarian makna adalah proses dinamis, penuh pergulatan, dan tak selalu berujung pada jawaban pasti.