Namun, sebelum pernikahan itu terlaksana, ada sebuah kejadian yang mengubah segalanya. Neng Ebah mengalami sakit yang parah dan membutuhkan transfusi darah. Namun, di desa itu tidak ada yang bersedia mendonorkan darahnya untuk Neng Ebah, karena takut mengotori darah biru Neng Ebah. Hanya Suganda dan seorang teman baiknya yang rela mendonorkan darahnya untuk Neng Ebah, tanpa memandang kasta dan status sosial.
Berkat donor darah dari Suganda dan temannya, Neng Ebah bisa sembuh dan pulih kembali. Neng Ebah merasa sangat berterima kasih dan semakin mencintai Suganda. Ia juga menyadari bahwa Suganda adalah orang yang paling peduli dan sayang padanya. Ia memutuskan untuk membatalkan pernikahannya dengan Wiraatmaja dan memilih Suganda sebagai pasangannya.
Wiraatmaja merasa kecewa dan marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia juga mengaku bahwa ia bukan berasal dari keturunan ningrat, melainkan dari rakyat biasa. Nama depannya yang berawalan R hanyalah singkatan dari Ronggo, nama ayahnya yang seorang tukang becak. Ia mengaku bahwa ia hanya menggunakan nama R. Wiraatmaja untuk menarik perhatian dan mendapatkan kesempatan sebagai jurnalis.
Naib merasa terkejut dan malu, karena telah tertipu oleh Wiraatmaja. Ia juga menyadari bahwa ia telah salah dalam memperlakukan rakyatnya. Ia menyadari bahwa kasta dan status sosial tidak menentukan kualitas seseorang, melainkan kepribadian dan perbuatan. Ia meminta maaf kepada Suganda dan rakyatnya, dan merestui pernikahan antara Neng Ebah dan Suganda. Ia juga berjanji akan menjadi naib yang lebih baik dan adil.
Akhirnya, Neng Ebah dan Suganda bisa menikah dan hidup bahagia. Mereka juga mendapat restu dari ibu Neng Ebah yang selalu mendukung mereka. Mereka membuktikan bahwa cinta mereka bisa melewati batas kasta dan status sosial. Mereka juga menjadi contoh bagi rakyat desa bahwa semua orang sama di hadapan Tuhan dan hukum, tanpa membedakan kasta dan status sosial.
Novel Sunda Payung Butut adalah sebuah novel yang mengandung banyak nilai moral dan budaya. Novel ini bisa dianalisis dari berbagai aspek, seperti unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan ajen moral. Berikut adalah beberapa analisis novel Sunda Payung Butut:
Unsur Intrinsik Novel Sunda Payung Butut
Unsur intrinsik novel Sunda Payung Butut adalah unsur-unsur yang membentuk novel itu sendiri, seperti tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan amanat. Berikut adalah penjelasan singkat tentang unsur-unsur intrinsik novel Sunda Payung Butut:
- Tema: Tema adalah gagasan pokok yang menjadi dasar cerita novel. Tema novel Sunda Payung Butut adalah cinta yang melewati batas kasta dan status sosial. Novel ini menggambarkan bagaimana dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda bisa saling mencintai dan mengatasi segala rintangan yang menghadang mereka.
- Alur: Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk cerita novel. Alur novel Sunda Payung Butut adalah alur maju, yaitu alur yang mengikuti urutan waktu dari awal hingga akhir. Novel ini tidak menggunakan alur mundur atau alur campuran. Novel ini memiliki alur yang menarik dan tidak membosankan, karena menggabungkan unsur drama, komedi, dan romantis.
- Tokoh: Tokoh adalah pelaku yang terlibat dalam cerita novel. Tokoh novel Sunda Payung Butut terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi pusat perhatian dan penggerak cerita, yaitu Siti Habibah dan Suganda. Tokoh tambahan adalah tokoh yang mendukung atau menghalangi tokoh utama, yaitu naib, ibu naib, R. Wiraatmaja, dan rakyat desa. Tokoh-tokoh dalam novel ini memiliki karakter yang kuat dan berkesan, serta mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan alur cerita.
- Latar: Latar adalah tempat, waktu, dan suasana yang menjadi latar belakang cerita novel. Latar novel Sunda Payung Butut adalah latar tempat, yaitu sebuah desa di wilayah Sunda pada masa penjajahan Belanda. Latar waktu adalah sekitar abad ke-19. Latar suasana adalah suasana yang bervariasi, mulai dari suasana tegang, sedih, bahagia, hingga lucu. Latar novel ini memiliki pengaruh yang besar terhadap cerita, karena menunjukkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah masyarakat Sunda pada masa itu.
- Sudut pandang: Sudut pandang adalah cara pandang penulis dalam menceritakan novel. Sudut pandang novel Sunda Payung Butut adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu, yaitu sudut pandang yang menggunakan kata ganti orang ketiga (ia, mereka, dll) dan mengetahui segala hal yang terjadi dalam cerita, termasuk pikiran dan perasaan tokoh-tokoh. Sudut pandang ini membuat pembaca bisa mengetahui seluruh cerita secara lengkap dan objektif.
- Amanat: Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis melalui novel. Amanat novel Sunda Payung Butut adalah bahwa cinta tidak mengenal batas kasta dan status sosial. Novel ini mengajarkan bahwa setiap orang berhak mencintai dan dicintai, tanpa memandang latar belakangnya. Novel ini juga mengajarkan bahwa kasta dan status sosial tidak menentukan kualitas seseorang, melainkan kepribadian dan perbuatan. Novel ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti cinta, kesetiaan, kejujuran, dan kemanusiaan yang penting untuk dijunjung tinggi.
Unsur Ekstrinsik Novel Sunda Payung Butut
Unsur ekstrinsik novel Sunda Payung Butut adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan latar belakang penulis, pembaca, dan masyarakat. Berikut adalah beberapa unsur ekstrinsik novel Sunda Payung Butut:
- Latar belakang penulis: Penulis novel Sunda Payung Butut adalah Ahmad Bakri, seorang penulis asal Tasikmalaya. Penulis lahir pada tahun 1931 dan meninggal pada tahun 2003. Penulis adalah seorang guru dan aktivis yang peduli dengan nasib rakyat. Penulis juga seorang penulis yang produktif dan kreatif, yang menulis berbagai karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, drama, dan esai. Penulis menggunakan bahasa Sunda sebagai media ekspresinya, karena ia ingin melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya Sunda. Penulis juga menggunakan pengalaman dan pengetahuannya sebagai bahan cerita novelnya.
- Latar belakang pembaca: Pembaca novel Sunda Payung Butut adalah pembaca yang menyukai karya sastra yang mengandung nilai moral dan budaya. Pembaca juga adalah pembaca yang tertarik dengan kehidupan dan sejarah masyarakat Sunda pada masa penjajahan Belanda. Pembaca juga adalah pembaca yang bisa memahami dan menikmati bahasa Sunda yang digunakan dalam novel ini. Pembaca juga adalah pembaca yang terbuka dan kritis terhadap kritik sosial yang disampaikan dalam novel ini.
- Latar belakang masyarakat: Masyarakat yang menjadi latar belakang novel Sunda Payung Butut adalah masyarakat Sunda pada masa penjajahan Belanda. Masyarakat Sunda pada masa itu adalah masyarakat yang masih terikat dengan sistem kasta dan status sosial, yang membedakan antara ningrat dan rakyat. Masyarakat Sunda pada masa itu juga adalah masyarakat yang mengalami penindasan dan eksploitasi dari pihak penjajah. Masyarakat Sunda pada masa itu juga adalah masyarakat yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang khas dan unik. Masyarakat Sunda pada masa itu juga adalah masyarakat yang memiliki semangat perjuangan dan cinta tanah air yang tinggi.
Ajen Moral Novel Sunda Payung Butut
Ajen moral adalah pihak yang bertanggung jawab atas tindakan moral yang dilakukan dalam novel. Ajen moral novel Sunda Payung Butut adalah tokoh-tokoh yang memiliki peran dalam cerita, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Berikut adalah beberapa ajen moral novel Sunda Payung Butut:
- Siti Habibah: Ia adalah ajen moral yang berperan sebagai pelaku tindakan moral. Ia melakukan tindakan moral yang positif, seperti mencintai Suganda tanpa memandang kasta, melawan ayahnya yang sombong, dan membantu rakyat yang tertindas. Ia juga melakukan tindakan moral yang negatif, seperti berbohong kepada ayahnya dan Wiraatmaja, dan melarikan diri dari rumah. Ia bertanggung jawab atas tindakan moralnya dengan menghadapi konsekuensi dan akhirnya mendapatkan kebahagiaan.
- Suganda: Ia adalah ajen moral yang berperan sebagai pelaku tindakan moral. Ia melakukan tindakan moral yang positif, seperti mencintai Neng Ebah tanpa memandang kasta, mendonorkan darahnya untuk Neng Ebah, dan memimpin rakyat untuk melawan penjajah. Ia juga melakukan tindakan moral yang negatif, seperti berbohong kepada rakyat dan naib, dan berani mengusik ketertiban desa. Ia bertanggung jawab atas tindakan moralnya dengan menghadapi konsekuensi dan akhirnya mendapatkan kebahagiaan.
- Naib: Ia adalah ajen moral yang berperan sebagai pelaku tindakan moral. Ia melakukan tindakan moral yang negatif, seperti sombong, diskriminatif, korup, dan kejam terhadap rakyat. Ia juga melakukan tindakan moral yang positif, seperti menyayangi istri dan putrinya, dan akhirnya meminta maaf dan merestui pernikahan Neng Ebah dan Suganda. Ia bertanggung jawab atas tindakan moralnya dengan menghadapi konsekuensi dan akhirnya berubah menjadi lebih baik dan adil.
- Ibu naib: Ia adalah ajen moral yang berperan sebagai saksi tindakan moral. Ia menyaksikan tindakan moral yang dilakukan oleh suami, putri, dan Suganda. Ia tidak banyak melakukan tindakan moral, tetapi ia selalu mendukung tindakan moral yang positif, seperti mencintai dan membela putrinya, dan menyayangi dan menganggap Suganda sebagai anak sendiri. Ia tidak bertanggung jawab atas tindakan moral yang dilakukan oleh orang lain, tetapi ia selalu memberikan nasihat dan dukungan moral kepada mereka.
- R. Wiraatmaja: Ia adalah ajen moral yang berperan sebagai pelaku tindakan moral. Ia melakukan tindakan moral yang negatif, seperti berbohong, menipu, dan mengincar Neng Ebah. Ia juga melakukan tindakan moral yang positif, seperti membuat reportase tentang kehidupan desa, dan akhirnya mengaku dan menyerah. Ia bertanggung jawab atas tindakan moralnya dengan menghadapi konsekuensi dan akhirnya menghilang dari desa.
- Rakyat desa: Mereka adalah ajen moral yang berperan sebagai korban dan saksi tindakan moral. Mereka menjadi korban tindakan moral yang negatif, seperti penindasan, eksploitasi, dan diskriminasi dari naib dan penjajah. Mereka juga menjadi saksi tindakan moral yang positif, seperti perjuangan, solidaritas, dan cinta dari Suganda dan Neng Ebah. Mereka tidak banyak melakukan tindakan moral, tetapi mereka selalu mengikuti dan mendukung tindakan moral yang positif, seperti memberontak, berdemonstrasi, dan mendonorkan darah. Mereka tidak bertanggung jawab atas tindakan moral yang dilakukan oleh orang lain, tetapi mereka selalu berharap dan berdoa agar keadaan menjadi lebih baik.
Kelebihan Novel Sunda Payung Butut
Novel Sunda Payung Butut memiliki beberapa kelebihan, di antaranya yaitu:
- Novel ini memiliki alur yang menarik dan tidak membosankan. Novel ini menggabungkan unsur drama, komedi, dan romantis yang membuat pembaca terus penasaran dengan kisah selanjutnya.
- Novel ini memiliki pesan moral yang kuat dan relevan dengan kehidupan masyarakat. Novel ini mengkritik sistem kasta dan status sosial yang membatasi hak dan kesempatan seseorang. Novel ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti cinta, kesetiaan, kejujuran, dan kemanusiaan yang penting untuk dijunjung tinggi.
- Novel ini memiliki karakter yang kuat dan berkesan. Novel ini menggambarkan karakter-karakter yang memiliki latar belakang dan kepribadian yang berbeda-beda. Novel ini juga menunjukkan perkembangan dan perubahan karakter-karakter seiring dengan alur cerita.
- Novel ini memiliki bahasa yang mudah dipahami dan indah. Novel ini menggunakan bahasa Sunda yang kaya dan bermakna. Novel ini juga menggunakan beberapa istilah dan ungkapan khas Sunda yang menambah keunikan dan keaslian novel ini.
- Novel ini memiliki humor yang segar dan menghibur. Novel ini menampilkan beberapa adegan dan dialog yang lucu dan mengundang tawa. Novel ini juga mengejek beberapa kebiasaan dan kekonyolan masyarakat Sunda yang kocak dan menggelitik.
Kekurangan Novel Sunda Payung Butut
Novel Sunda Payung Butut juga memiliki beberapa kekurangan, di antaranya yaitu:
- Novel ini memiliki beberapa adegan yang terlalu dramatis dan tidak realistis. Novel ini menampilkan beberapa adegan yang terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Misalnya, adegan donor darah yang terlalu heroik dan adegan pengakuan Wiraatmaja yang terlalu mudah.
- Novel ini memiliki beberapa karakter yang kurang berkembang dan mendalam. Novel ini tidak banyak menjelaskan latar belakang dan motivasi beberapa karakter. Misalnya, karakter naib yang terlalu jahat dan tidak memiliki alasan yang kuat untuk bersikap sombong dan diskriminatif.
Kesimpulan
Novel Sunda Payung Butut adalah novel yang layak untuk dibaca dan dinikmati. Novel ini memiliki cerita yang menarik, pesan moral yang kuat, karakter yang kuat, bahasa yang indah, dan humor yang segar. Novel ini juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, karena menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda pada masa penjajahan Belanda. Novel ini bisa menjadi inspirasi dan hiburan bagi pembaca yang menyukai kisah cinta yang melewati batas kasta.