Kemudian, film beralih ke masa-masa Buya Hamka menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar. Di sana, ia merasa geram melihat banyak orang yang tidak mau belajar dan berkembang, karena menganggap ilmu pengetahuan sebagai hal yang haram.
Ia pun mendapat saran dari istrinya untuk menulis kisah-kisah yang bisa menginspirasi orang lain. Salah satu karya pertamanya adalah novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang menceritakan tentang cinta terlarang antara dua anak Minangkabau.
Karena tulisannya yang menarik, Buya Hamka ditawari untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masyarakat di Medan. Ia pun bersedia dan pindah bersama keluarganya.
Di Medan, ia semakin produktif menulis karya-karya sastra, seperti novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan “Merantau ke Deli”. Tulisannya mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, namun juga menimbulkan kontroversi dan kritik dari beberapa pihak.
Selain menulis, Buya Hamka juga aktif berdakwah dan berorganisasi. Ia menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam mempersatukan umat Islam dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman agresi Belanda.
Namun, perjuangan ini tidak mudah. Buya Hamka harus menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, baik dari dalam maupun dari luar. Ia bahkan sempat tertembak dan ditangkap oleh pihak Belanda.
Film Buya Hamka Vol. 1 berakhir dengan adegan Buya Hamka yang ditawari oleh Presiden Soekarno untuk menjadi anggota Dewan Konstituante. Ia pun menerima tawaran itu dengan harapan bisa berkontribusi lebih banyak untuk bangsa dan negaranya.
Pesan Moral Film Buya Hamka
Film Buya Hamka Vol. 1 merupakan film yang mengajarkan kita tentang nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Film ini menunjukkan bagaimana Buya Hamka berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam yang moderat, toleran, dan beradab.
Film ini juga menggambarkan bagaimana Buya Hamka mencintai tanah airnya dan berkorban untuk mempertahankannya dari penjajahan. Film ini juga menginspirasi kita untuk terus belajar, berkarya, dan berdakwah dengan cara yang positif dan kreatif.