DIKSIA.COM - JAKARTA, Mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Dudy Jocom didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait pembangunan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Bangunan.
Tuduhan dugaan korupsi terhadap Dudy terdiri atas pembangunan tiga gedung IPDN, yakni di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
Dari ketiga proyek tersebut, Dudy mendapatkan “fee” yang berbeda-beda.
Dalam proyek Gedung IPDN Rokan Hilir, ia menerima 5 persen dari nilai kontrak, yakni Rp. 4,4 miliar. Dia menyebut uang ini sebagai “arranger fee” dari mitra proyek.
“Tergugat meminta realisasi Arranger Fee sebesar 6 persen dari nilai kontrak. Atas permintaan tersebut, Budi Rahmat Kurniawan (General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya) meminta agar Tergugat menurunkan Arranger Fee menjadi 2% dari nilai kontrak, namun Tergugat tidak menyetujui hal tersebut hingga akhirnya disepakati nilai Arranger Fee sebesar 5% dari nilai kontrak atau Rp4.498.678.412,” ujar jaksa KPK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Dari tindak korupsi dalam proyek ini, negara diperkirakan dirugikan hingga Rp 22,1 miliar.
Kemudian selama pembangunan Gedung IPDN Minahasa, Dudy ditugasi memungut “commitment fee” dari mitra proyek.
Untuk memenuhi permintaan komitmen fee, mitra juga melakukan markup atau inflasi harga sebesar Rp13,4 miliar.
Dari aksi tersebut, negara ditaksir dirugikan Rp 19,7 miliar.
“Akibat perbuatan Terdakwa bersama Dono Purwoko (Senior Manager Marketing Divisi Gedung PT Hutama Karya) ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 19.749.384.767,24,” kata JPU.
Adapun untuk pembangunan Gedung IPDN Gowa, Dudy dijerat dengan “fee” sebesar Rp 500 juta.
Uang itu ia peroleh dari rekanan, yakni PT Waskita Karya, dengan cara mendatangkan subkontraktor fiktif.
“Atas permintaan uang Terdakwa, Tukijo (Kepala Gedung Unit 2) menyiapkan uang sebesar Rp 500.000.000,- yang bersumber dari pengembalian uang subkontrak fiktif dari PT Cahaya Teknindo Majumandiri sekitar bulan Desember 2011 atau Januari 2012,” ungkap sang jaksa.