DIKSIA.COM - Jakarta, Dalam seminar ‘Anak Muda untuk Politik' yang diadakan di Gedung DPR RI pada hari Senin (31/7), Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009, mengungkapkan bahwa untuk menduduki posisi ketua umum partai, diperlukan modal hingga ratusan miliar rupiah.
Saat berbicara tentang perjalanan politiknya, JK bercerita tentang prosesnya memasuki dunia politik. Ketika terjun ke dalam politik, ia meninggalkan dunia usahanya dan menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada era kepemimpinan Gus Dur.
“Saya meninggalkan dunia usaha, tidak ada pilihan lain. Ketika menjadi menteri, tidak diperbolehkan menjadi pengusaha. Saya memberikan bisnis pengusaha kepada adik saya dan diteruskan ke anak saya,” kata JK.
JK berpendapat bahwa karier seseorang, termasuk dirinya sendiri, adalah sebuah perjalanan berjenjang. Ia kemudian mengungkit berbagai jabatan yang pernah diembannya, mulai dari organisasi, perusahaan, hingga dunia politik.
Selanjutnya, JK menyinggung mengenai posisi Ketua Umum Golkar yang biasanya diisi oleh pimpinan negara. Ia sendiri pernah menjabat sebagai ketua umum partai beringin setelah terpilih sebagai wakil presiden yang mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketika itu, sebagai wakil presiden, JK mengakui bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menjabat sebagai Ketum Golkar relatif kecil.
Namun, JK menekankan bahwa kondisi saat ini jauh berbeda. Ia menyatakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk menduduki kursi Ketum Golkar pada masa kini sangatlah tinggi.
“Dulu, karena Golkar cenderung menempatkan ketuanya dari pimpinan negara, biaya yang dikeluarkan saat itu hampir bisa diabaikan. Namun, jika saat ini seseorang ingin menjadi Ketum Golkar, jangan harap bisa tanpa modal sebesar Rp500-600 miliar,” tegasnya.
Tidak hanya terjadi di Partai Golkar, JK juga menegaskan bahwa hal serupa berlaku hampir di seluruh partai politik di Indonesia.
“Hampir seluruh partai mengalami hal yang sama, terkecuali partai yang pendirinya masih aktif, seperti PDIP dan NasDem. Namun, bagi partai yang sudah ‘go public,' yaitu partai yang pemilihannya melibatkan publik, membutuhkan biaya yang besar,” ungkapnya.