Asmara pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang pendiam dan tertutup. Ia tidak tertarik dengan hal-hal yang biasa disukai oleh remaja seusianya, seperti musik, olahraga, atau pacaran. Ia lebih suka membaca buku-buku tentang sains, matematika, dan fisika. Ia juga gemar menggambar dan melukis, terutama gambar-gambar yang berhubungan dengan laut. Ia merasa bahwa laut adalah simbol dari kakaknya, yang luas, dalam, dan misterius. Ia berharap bahwa suatu hari nanti, laut akan memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi dengan kakaknya.
Pada tahun 2000, Asmara mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya di Amerika Serikat. Ia mendapat beasiswa untuk kuliah di bidang fisika di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia pun berangkat dengan harapan dan keraguan. Ia berharap bahwa dengan pergi ke negeri orang, ia bisa menemukan jalan keluar dari keterpurukan dan ketidakpastian. Ia juga berharap bahwa dengan belajar fisika, ia bisa memahami fenomena-fenomena alam yang sulit dipahami, termasuk fenomena kehilangan kakaknya. Ia ragu apakah ia bisa meninggalkan keluarganya yang masih berduka dan membutuhkan dukungannya. Ia juga ragu apakah ia bisa beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang berbeda.
Di Amerika, Asmara bertemu dengan berbagai orang yang membantunya berkembang dan berubah. Ia bertemu dengan profesor-profesor yang mengajarinya tentang fisika, seperti Prof. Brian Greene, Prof. Lisa Randall, dan Prof. Alan Guth. Ia bertemu dengan teman-teman sekelasnya yang berasal dari berbagai negara dan latar belakang, seperti David, Maria, Chen, dan Ali. Ia bertemu dengan wanita-wanita yang menarik hatinya, seperti Sarah, Anna, dan Zoe. Ia juga bertemu dengan orang-orang yang terlibat dalam gerakan hak asasi manusia, seperti John, Rachel, dan Kevin. Mereka semua memberinya wawasan, pengalaman, dan inspirasi yang baru.
Di sisi lain, Asmara juga menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang menguji dirinya. Ia harus berjuang dengan kesulitan akademik, budaya, dan finansial. Ia harus mengatasi rasa rindu, kesepian, dan depresi. Ia harus menghadapi konflik, diskriminasi, dan kekerasan. Ia juga harus mengambil keputusan-keputusan penting yang menentukan masa depannya. Ia harus memilih antara melanjutkan studinya atau kembali ke Indonesia, antara menikah atau tidak, antara melupakan atau mencari kakaknya.