Diksia.com - Bagi kamu penikmat sastra Sunda, “Lembur Singkur” karya Abdullah Mustappa wajib banget masuk ke TBR (To Be Read) list kamu! Novel pendek ini terbit tahun 1979, tapi kisahnya masih relevan dan mampu mengaduk-aduk emosi pembaca hingga kini. Yuk, simak resensi lengkapnya biar kamu nggak penasaran lagi!
Novel Lembur Singkur adalah salah satu karya sastra Sunda yang ditulis oleh Abdullah Mustappa pada tahun 1979. Novel ini menceritakan kehidupan seorang ibu dan anak bungsunya yang tinggal di sebuah lembur atau kampung terpencil di kaki gunung, yang sering diganggu oleh teroris atau gorombolan yang bersekutu dengan penjajah Belanda. Novel ini menggambarkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah masyarakat Sunda pada masa itu dengan gaya bahasa yang sederhana, lugas, dan menyentuh.
Sinopsis Novel Lembur Singkur
Novel ini diceritakan dari sudut pandang si bungsu, yang tidak disebutkan namanya, hanya menyebut dirinya sebagai kuring (aku). Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua dan lemah, sementara kedua kakaknya, Ahmad dan Hadi, mondok atau mengungsi di bawah gunung untuk menghindari teroris. Ayahnya tidak diketahui keberadaannya, dan ibunya tidak pernah memberi tahu siapa dia.
Suatu hari, ada seorang laki-laki yang datang ke rumah mereka secara diam-diam. Dia ternyata adalah ayah si bungsu, yang sudah lama menjadi anggota teroris. Dia datang untuk menemui ibunya dan memberi tahu bahwa dia akan segera mati, karena teroris sudah kalah perang dengan tentara Belanda. Dia juga memberi tahu bahwa dia adalah orang yang membunuh kepala lembur, yang merupakan kakek si bungsu. Dia meminta maaf kepada ibunya dan si bungsu, dan berpesan agar mereka tetap hidup dengan baik.
Keesokan harinya, ibu dan si bungsu pergi ke sawah untuk bekerja. Mereka membawa banyak perbekalan, karena ada pemeriksaan teroris yang akan datang. Di sawah, mereka bertemu dengan seorang gadis yang bernama Nani, yang merupakan cucu dari kepala lembur yang dibunuh oleh ayah si bungsu. Nani dan si bungsu bersahabat, dan bermain bersama di sawah.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Teroris datang dan menangkap ibu si bungsu, karena dicurigai sebagai mata-mata tentara Belanda. Mereka membawa ibu si bungsu ke markas mereka, dan menyiksa dia sepanjang malam. Si bungsu yang ketakutan, berlari ke bawah gunung untuk mencari kakak-kakaknya. Dia menemukan Ahmad, kakak sulungnya, yang juga sudah menjadi anggota teroris. Ahmad menyesal telah meninggalkan ibu dan adiknya, dan berjanji akan menyelamatkan mereka.
Ahmad dan si bungsu pergi ke markas teroris, dan berhasil menemukan ibu mereka. Namun, mereka terlambat. Ibu mereka sudah meninggal karena penyiksaan. Ahmad marah dan sedih, dan menyerang teroris dengan senjata. Dia juga tewas ditembak oleh teroris. Si bungsu yang melihat semua itu, pingsan dan tidak sadarkan diri.
Dia kemudian dibawa oleh Hadi, kakak keduanya, yang datang bersama tentara Belanda. Hadi sudah menjadi mata-mata tentara Belanda, dan memberi tahu mereka tentang keberadaan teroris. Tentara Belanda menyerbu markas teroris, dan membunuh semua anggota teroris. Hadi dan si bungsu selamat, dan dibawa ke kota oleh tentara Belanda. Mereka meninggalkan lembur singkur, yang sudah menjadi tempat kematian bagi keluarga mereka.
Unsur Intrinsik Novel Lembur Singkur
Novel Lembur Singkur memiliki beberapa unsur intrinsik, yaitu:
Tema
Tema novel ini adalah penderitaan dan kesedihan yang dialami oleh masyarakat Sunda di zaman kolonial, yang harus menghadapi kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan dari penjajah Belanda dan teroris yang bersekutu dengan mereka.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama novel ini adalah si bungsu, yang merupakan seorang anak laki-laki yang polos, lugu, dan penurut. Dia sangat mencintai ibunya, dan selalu menuruti perintahnya. Dia juga bersahabat dengan Nani, gadis yang merupakan cucu dari musuh ayahnya. Dia mengalami banyak kejadian tragis yang membuatnya kehilangan keluarganya satu per satu.
Tokoh lainnya adalah:
- Ibu si bungsu, yang merupakan seorang ibu yang sabar, setia, dan penyayang. Dia mengurus anak-anaknya dengan baik, meskipun hidup dalam kesulitan. Dia tidak pernah membenci ayah si bungsu, meskipun dia adalah seorang pembunuh dan teroris. Dia rela mati demi melindungi anak-anaknya.
- Ayah si bungsu, yang merupakan seorang laki-laki yang keras, bengis, dan berani. Dia menjadi anggota teroris, dan membunuh banyak orang, termasuk kepala lembur. Dia menyesali perbuatannya, dan mencoba menebusnya dengan menemui keluarganya sebelum mati.
- Ahmad, kakak sulung si bungsu, yang merupakan seorang laki-laki yang cerdas, tangguh, dan berani. Dia mondok di bawah gunung, dan menjadi anggota teroris. Dia menyesali keputusannya, dan berusaha menyelamatkan ibu dan adiknya. Dia tewas sebagai pahlawan.
- Hadi, kakak kedua si bungsu, yang merupakan seorang laki-laki yang licik, cerdik, dan oportunis. Dia mondok di bawah gunung, dan menjadi mata-mata tentara Belanda. Dia mengkhianati teroris, dan memberi tahu tentara Belanda tentang markas mereka. Dia selamat, dan dibawa ke kota oleh tentara Belanda.
- Nani, gadis yang menjadi teman si bungsu, yang merupakan seorang gadis yang cantik, manis, dan baik hati. Dia adalah cucu dari kepala lembur yang dibunuh oleh ayah si bungsu. Dia tidak tahu tentang hal itu, dan bersahabat dengan si bungsu. Dia hilang entah kemana setelah teroris datang.
Alur
Alur novel ini adalah alur maju, yang mengikuti urutan kronologis peristiwa yang dialami oleh si bungsu, dari awal sampai akhir. Tidak ada kilas balik atau kilas maju yang mengganggu alur cerita.
Latar Tempat
Latar tempat novel ini adalah lembur singkur, sebuah kampung terpencil di kaki gunung, yang menjadi tempat tinggal si bungsu dan keluarganya. Kampung ini jauh dari keramaian kota, dan sering diganggu oleh teroris. Kampung ini juga memiliki sawah yang menjadi tempat bekerja dan bermain si bungsu dan Nani.
Latar Waktu
Latar waktu novel ini adalah zaman kolonial, sekitar tahun 1940-an, ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Zaman ini ditandai oleh adanya perang antara tentara Belanda dan teroris, yang berdampak pada kehidupan masyarakat Sunda, khususnya di lembur singkur.
Sudut Pandang
Sudut pandang novel ini adalah sudut pandang orang pertama, yaitu si bungsu, yang menceritakan kisahnya sendiri. Dia menggunakan kata ganti kuring (aku) untuk menyebut dirinya, dan menyebut orang lain dengan nama atau sebutan mereka.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa novel ini adalah gaya bahasa sederhana, lugas, dan menyentuh. Penulis menggunakan bahasa Sunda yang mudah dipahami, dan tidak banyak menggunakan kiasan atau majas. Penulis juga menggunakan dialog yang realistis dan sesuai dengan karakter tokoh.
Amanat
Amanat novel ini adalah bahwa kehidupan di zaman kolonial adalah kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan kesedihan, yang harus dihadapi dengan sabar, setia, dan berani. Novel ini juga mengajarkan kita untuk menghargai keluarga, persahabatan, dan kemanusiaan, meskipun di tengah-tengah konflik dan kekerasan.
Novel ini juga mengingatkan kita akan sejarah bangsa kita, yang pernah berjuang melawan penjajahan dan penindasan. Novel ini juga menunjukkan kekayaan dan keindahan sastra Sunda, yang patut kita lestarikan dan kembangkan.
Unsur Ekstrinsik Novel Lembur Singkur
Unsur ekstrinsik novel adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan latar belakang penulis, konteks sejarah, budaya, sosial, politik, dan lain-lain yang mempengaruhi karya sastra. Unsur ekstrinsik novel Lembur Singkur karya Abdullah Mustappa antara lain adalah:
Latar belakang penulis
Abdullah Mustappa adalah seorang sastrawan Sunda yang lahir pada tahun 1928 di Cianjur. Dia menempuh pendidikan di HIS, MULO, dan AMS-B. Dia pernah menjadi guru, wartawan, dan pegawai negeri. Dia juga aktif dalam organisasi kebudayaan dan kesenian Sunda, seperti Sanggar Sunda, Sastra Sunda, dan Karya Budaya. Dia menulis berbagai karya sastra, seperti puisi, cerpen, novel, drama, dan esai. Dia meninggal pada tahun 2003 di Bandung.
Konteks sejarah
Novel Lembur Singkur ditulis pada tahun 1979, ketika Indonesia masih berada di bawah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Rezim ini dikenal dengan kebijakan pembangunan, stabilitas, dan anti-komunisme, tetapi juga dengan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan nepotisme. Novel ini mengambil latar waktu pada tahun 1940-an, ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Zaman ini ditandai dengan adanya perlawanan rakyat terhadap penjajah, baik melalui gerakan nasionalis maupun gerilya. Novel ini juga menggambarkan kondisi masyarakat Sunda pada masa itu, yang hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan, dan kekerasan.
Konteks budaya
Novel Lembur Singkur menggunakan bahasa Sunda sebagai media pengungkapan. Bahasa Sunda adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dituturkan oleh sekitar 40 juta orang, terutama di Jawa Barat dan Banten. Bahasa Sunda memiliki berbagai dialek, seperti Sunda Buhun, Sunda Cirebon, Sunda Priangan, dan Sunda Banten. Bahasa Sunda juga memiliki berbagai tingkat tutur, seperti basa lemes, basa loma, basa kasar, dan basa hormat.
Novel ini menggunakan basa lemes, yang merupakan tingkat tutur yang santun, halus, dan sopan. Novel ini juga mengandung berbagai istilah, ungkapan, dan pepatah Sunda, yang mencerminkan kearifan, nilai, dan budaya Sunda.
Konteks sosial
Novel Lembur Singkur menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda di sebuah lembur atau kampung terpencil di kaki gunung. Masyarakat ini hidup dalam kesederhanaan, kerukunan, dan kebersamaan. Mereka bercocok tanam di sawah, berdagang di pasar, dan beribadah di masjid. Mereka juga memiliki adat istiadat, tradisi, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Mereka menghormati orang tua, guru, dan pemimpin. Mereka juga memiliki rasa solidaritas, gotong royong, dan nasionalisme.
Namun, masyarakat ini juga harus menghadapi ancaman dari teroris atau gorombolan yang bersekutu dengan penjajah Belanda. Teroris ini sering melakukan penyerangan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap warga lembur. Mereka juga menghasut dan memecah belah masyarakat dengan ideologi komunis. Masyarakat ini harus berjuang untuk bertahan hidup dan mempertahankan kemerdekaan.
Kelebihan dan Kekurangan Novel Lembur Singkur
Novel Lembur Singkur memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu:
Kelebihan
- Novel ini memiliki alur yang menarik dan mengharukan, yang membuat pembaca terbawa emosi dan penasaran dengan nasib si bungsu dan keluarganya.
- Novel ini memiliki latar yang kaya dan mendetail, yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda di zaman kolonial dengan baik dan akurat.
- Novel ini memiliki tokoh yang kuat dan beragam, yang memiliki karakteristik dan motivasi yang berbeda-beda, sehingga membuat cerita menjadi lebih hidup dan realistis.
- Novel ini memiliki gaya bahasa yang sederhana, lugas, dan menyentuh, yang cocok dengan tema dan sudut pandang novel, serta mudah dipahami oleh pembaca.
Kekurangan
- Novel ini memiliki tema yang terlalu suram dan menyedihkan, yang bisa membuat pembaca merasa depresi dan putus asa, terutama jika tidak ada harapan atau pesan positif yang disampaikan oleh penulis.
- Novel ini memiliki beberapa adegan yang terlalu kejam dan brutal, yang bisa membuat pembaca merasa jijik dan trauma, terutama jika tidak ada alasan atau tujuan yang jelas dari adegan tersebut.
- Novel ini memiliki beberapa tokoh yang kurang dikembangkan dan dimanfaatkan, seperti Nani, yang hanya muncul sebentar dan tidak ada hubungannya dengan alur utama novel.
Kesimpulan
Novel Lembur Singkur adalah novel yang bercerita tentang penderitaan dan kesedihan yang dialami oleh masyarakat Sunda di zaman kolonial, yang harus menghadapi kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan dari penjajah Belanda dan teroris yang bersekutu dengan mereka. Novel ini memiliki alur yang menarik dan mengharukan, latar yang kaya dan mendetail, tokoh yang kuat dan beragam, dan gaya bahasa yang sederhana, lugas, dan menyentuh.
Namun, novel ini juga memiliki tema yang terlalu suram dan menyedihkan, beberapa adegan yang terlalu kejam dan brutal, dan beberapa tokoh yang kurang dikembangkan dan dimanfaatkan. Novel ini cocok untuk pembaca yang suka dengan kisah sejarah dan drama, tetapi tidak cocok untuk pembaca yang mudah terpengaruh oleh suasana hati dan emosi.