Diksia.com - Pernahkah kamu membayangkan sebuah toko kelontong sederhana bisa menjadi panggung petualangan seru?
Novel Warung Bujang karya Jessica Carmelia mengajak kita untuk menyelami kisah menarik tentang 12 cucu yang harus menjalankan bisnis toko kelontong milik kakek mereka.
Diajak oleh sang kakek yang humoris, 12 cucu berkumpul kembali setelah sekian lama. Mereka dihadapkan pada tantangan unik: mengelola toko kelontong selama 60 hari. Dengan hadiah uang tunai yang menggiurkan, persaingan pun tak terelakkan.
Namun, di balik ambisi masing-masing cucu, terjalin kisah persahabatan, cinta, dan konflik yang menguji ikatan keluarga mereka.
Melalui petualangan di warung kelontong, mereka belajar tentang arti kerja sama, tanggung jawab, dan menemukan jati diri.
Di balik rak-rak berisi sembako, tersimpan rahasia dan pelajaran hidup yang tak terduga. Dalam era digital yang serba cepat, membaca novel seolah menjadi kegiatan yang semakin jarang dilakukan.
Namun, kehadiran novel seperti Warung Bujang mampu membangkitkan kembali minat baca kita.
Novel ini tidak hanya menyajikan cerita yang menghibur, tetapi juga mengajak kita untuk merenung tentang nilai-nilai keluarga, persahabatan, dan perjuangan.
Detail Novel
- Judul: Warung Bujang
- Pengarang: Jessica Carmelia
- Genre: Fiksi Kontemporer
- Bahasa: Indonesia
- Penerbit: Aria Media
- Peringkat: (Periksa rating terbaru di Goodreads atau toko buku online)
Sinopsis
Saat kecil, saya pernah berpikir bahwa manusia bisa hidup abadi asalkan ada warung sembako yang selalu menemani.
Segala hal tentang bangunan itu menarik perhatian saya, mulai dari lemari-lemari besar yang memenuhi ruangan sempitnya, pojok-pojok berdebu karena banyak kabel kulkas, hingga tumpukan gas elpiji dan galon yang selalu berubah posisi setiap harinya.
Pemikiran ini terus melekat dalam pikiran saya hingga akhirnya tante saya membuka warung sembako sendiri. Namanya Cahaya Mas.
Awalnya, dia ingin menamai tokonya Sinar Mas, namun karena takut dianggap meniru, dia memutuskan untuk menggunakan nama Cahaya Mas dengan alasan, “Kalau pakai ‘Sinar’ kayaknya terlalu keterangan. ‘Cahaya’ saja. Lebih pas untuk brightness-nya!” (iya, dia benar-benar berkata begitu!)