Novel Siti Nurbaya: Kisah Cinta yang Tak Sampai

RediksiaKamis, 25 Januari 2024 | 09:51 WIB
Novel Siti Nurbaya: Kisah Cinta yang Tak Sampai
Novel Siti Nurbaya: Kisah Cinta yang Tak Sampai

Diksia.com - Novel Siti Nurbaya adalah salah satu karya sastra Indonesia yang paling terkenal dan berpengaruh. Novel ini ditulis oleh Marah Rusli, seorang dokter hewan asal Minangkabau yang berpendidikan Belanda. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922, dan sampai sekarang masih sering dibaca dan dipelajari di sekolah-sekolah Indonesia.

Novel ini menceritakan kisah cinta tragis antara Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, dua remaja yang berasal dari keluarga bangsawan di Padang. Mereka harus berpisah karena Samsul Bahri pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya, sementara Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya yang tamak dan kejam. Akhirnya, Siti Nurbaya meninggal karena dibunuh oleh suaminya, dan Samsul Bahri yang menjadi tentara Belanda juga tewas dalam sebuah pemberontakan.

Novel ini menggambarkan berbagai konflik sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, seperti pertentangan antara adat Minangkabau dan adat Barat, antara orang kaya dan orang miskin, antara kolonialisme dan nasionalisme, dan antara tradisi dan modernitas. Novel ini juga menggunakan berbagai unsur sastra tradisional, seperti pantun, syair, dan peribahasa, yang menunjukkan kekayaan dan keindahan bahasa Melayu.

Latar Belakang Penulisan Novel

Marah Rusli, penulis novel Siti Nurbaya, lahir di Padang pada tahun 1889. Ia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah seorang guru agama yang juga menjadi penghulu di Padang. Marah Rusli mendapatkan pendidikan dasar di sekolah rakyat, kemudian melanjutkan ke sekolah dokter hewan di Bogor. Setelah lulus, ia bekerja sebagai dokter hewan di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera.

Marah Rusli mulai menulis novel Siti Nurbaya pada tahun 1918, ketika ia sedang bertugas di Bengkulu. Ia terinspirasi oleh berbagai pengalaman pribadi dan sosial yang ia alami sejak kecil. Salah satunya adalah ketika ia menikah dengan seorang perempuan Sunda yang ia cintai, tetapi keluarganya tidak menyetujui dan memaksanya untuk kembali ke Padang dan menikah dengan seorang perempuan Minang yang dipilihkan. Hal ini membuat Marah Rusli merasakan penderitaan cinta yang tak terbalas, seperti yang dialami oleh tokoh Siti Nurbaya dan Samsul Bahri.

Selain itu, Marah Rusli juga dipengaruhi oleh situasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Ia menyaksikan bagaimana rakyat Indonesia menderita di bawah penindasan dan eksploitasi Belanda, yang menguasai tanah, sumber daya, dan perdagangan di negeri ini. Ia juga melihat bagaimana adat Minangkabau yang ia anut mulai tergerus oleh pengaruh Barat, yang membawa nilai-nilai modern seperti pendidikan, teknologi, dan demokrasi. Ia juga merasakan konflik batin antara menjadi seorang pribumi yang setia kepada tanah airnya, atau menjadi seorang Barat yang mengikuti perkembangan zaman.

Semua hal ini ia tuangkan dalam novel Siti Nurbaya, yang ia selesaikan pada tahun 1920. Ia mengirimkan naskahnya ke Balai Pustaka, penerbit resmi pemerintah kolonial Belanda, yang menerbitkannya pada tahun 1922. Novel ini mendapat sambutan yang baik dari para pembaca, dan dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia modern yang pertama. Novel ini juga mendapat penghargaan sastra dari pemerintah Indonesia pada tahun 1969, setahun setelah Marah Rusli meninggal dunia.

Alur Cerita Novel

Novel Siti Nurbaya terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Bagian Pertama: Perpisahan

Bagian pertama novel ini menceritakan tentang masa kecil dan remaja Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, yang tinggal di Padang. Mereka adalah tetangga dan teman sekolah yang saling menyukai. Siti Nurbaya adalah anak tunggal dari Bagindo Sulaiman, seorang pedagang kaya yang dermawan dan baik hati. Samsul Bahri adalah anak bungsu dari Sutan Mahmud Syah, seorang penghulu yang berwibawa dan berilmu.

Mereka berdua mendapatkan pendidikan di sekolah rakyat, yang dipimpin oleh seorang guru Belanda bernama Van Kol. Di sekolah itu, mereka belajar berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, sejarah, geografi, dan bahasa Belanda. Mereka juga belajar tentang nilai-nilai modern, seperti persamaan hak, kebebasan, dan demokrasi. Mereka bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi, dan berharap bisa bersama selamanya.

Namun, harapan mereka pupus ketika Samsul Bahri harus pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah dokter hewan. Ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda, yang ingin mencari orang pribumi yang berbakat untuk menjadi pegawai negeri. Sebelum berangkat, Samsul Bahri berjanji kepada Siti Nurbaya bahwa ia akan kembali dan menikahinya. Mereka berpisah dengan air mata dan rasa sedih yang mendalam.

Bagian Kedua: Pernikahan Paksa

Bagian kedua novel ini menceritakan tentang nasib Siti Nurbaya setelah Samsul Bahri pergi. Ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ayahnya, Bagindo Sulaiman, terjerat hutang oleh Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya yang rakus dan kejam. Datuk Maringgih adalah musuh bebuyutan Bagindo Sulaiman, yang selalu iri dan dengki terhadap kekayaan dan kedermawanan Bagindo Sulaiman. Datuk Maringgih juga mengincar Siti Nurbaya, yang ia anggap sebagai perempuan tercantik di Padang.

Datuk Maringgih meminjamkan uang kepada Bagindo Sulaiman dengan bunga yang sangat tinggi, dan menipunya dengan cara-cara licik. Ia membuat Bagindo Sulaiman gagal dalam berbagai usahanya, dan mengadukannya ke pihak Belanda. Akhirnya, Bagindo Sulaiman tidak bisa membayar hutangnya, dan terancam dipenjara. Datuk Maringgih kemudian menawarkan solusi, yaitu dengan menikahi Siti Nurbaya sebagai ganti hutangnya.

Siti Nurbaya, yang sangat mencintai ayahnya, rela mengorbankan dirinya untuk menikah dengan Datuk Maringgih, meskipun ia sangat membencinya. Ia tidak mau ayahnya masuk penjara, dan merasa tidak punya pilihan lain. Ia juga tidak tahu kapan Samsul Bahri akan kembali, dan apakah ia masih ingat janjinya. Ia berharap Samsul Bahri bisa mengerti dan memaafkannya.

Pernikahan Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih dilangsungkan dengan paksa dan tanpa restu dari keluarga Siti Nurbaya. Siti Nurbaya merasa sangat tertekan dan tidak bahagia. Ia harus tinggal di rumah Datuk Maringgih, yang sangat mewah tetapi juga sangat suram dan dingin. Ia tidak mendapatkan kasih sayang dan penghargaan dari suaminya, yang hanya menganggapnya sebagai barang dan harta. Ia juga sering disiksa dan dilecehkan oleh Datuk Maringgih, yang sangat kasar dan biadab. Ia hidup dalam kesengsaraan dan penyesalan.

Bagian Ketiga: Kematian

Bagian ketiga novel ini menceritakan tentang kembalinya Samsul Bahri ke Padang, dan akhir dari kisah cinta Siti Nurbaya. Samsul Bahri, yang telah lulus dari sekolah dokter hewan, kembali ke Padang sebagai seorang tentara Belanda. Ia mendapat tugas untuk menumpas pemberontakan rakyat Minangkabau, yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Samsul Bahri merasa bimbang antara menjalankan tugasnya sebagai tentara Belanda, atau bergabung dengan perjuangan rakyatnya.

Samsul Bahri juga masih mencintai Siti Nurbaya, dan ingin menemui dan menikahinya. Ia tidak tahu bahwa Siti Nurbaya telah menikah dengan Datuk Maringgih, dan hidup dalam kesengsaraan. Ia baru mengetahui hal itu ketika ia bertemu dengan Datuk Maringgih, yang menyombongkan diri sebagai suami Siti Nurbaya. Samsul Bahri merasa sangat marah dan sakit hati. Ia berusaha untuk menemui Siti Nurbaya, tetapi dihalang-halangi oleh Datuk Maringgih.

Siti Nurbaya, yang mengetahui bahwa Samsul Bahri telah kembali, juga merindukan dan mencintainya. Ia berharap Samsul Bahri bisa menyelamatkannya dari Datuk Maringgih, dan membawanya pergi. Ia mencoba untuk menghubungi Samsul Bahri, tetapi juga diawasi oleh Datuk Maringgih. Ia merasa tidak ada harapan lagi, dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia meminum racun, dan meninggal di pelukan Samsul Bahri, yang berhasil menembus penjagaan Datuk Maringgih.

Samsul Bahri, yang kehilangan Siti Nurbaya, juga tidak mau hidup lagi. Ia memilih untuk mati syahid dalam pertempuran melawan Belanda. Ia menyerang markas Belanda dengan gagah berani, dan tewas di medan perang. Ia berharap bisa bertemu dengan Siti Nurbaya di surga, dan bersatu dalam cinta yang abadi.

Makna dan Pesan Novel

Novel Siti Nurbaya memiliki makna dan pesan yang mendalam dan relevan hingga sekarang. Novel ini mengkritik berbagai ketidakadilan dan ketidaksesuaian yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, seperti:

  • Ketidakadilan sosial, yang ditunjukkan oleh kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai dan memecah belah rakyat Indonesia. Contohnya adalah Datuk Maringgih, yang menjadi kaki tangan Belanda, dan menindas Bagindo Sulaiman dan Siti Nurbaya.
  • Ketidakadilan gender, yang ditunjukkan oleh perlakuan tidak adil terhadap perempuan, yang dianggap sebagai barang dagangan dan tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Contohnya adalah Siti Nurbaya, yang dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, dan tidak bisa menikah dengan Samsul Bahri, yang ia cintai.
  • Ketidaksesuaian budaya, yang ditunjukkan oleh pertentangan antara adat Minangkabau dan adat Barat, yang saling bertabrakan dan menimbulkan konflik. Contohnya adalah Samsul Bahri, yang terjebak antara menjadi seorang pribumi yang setia kepada tanah airnya, atau menjadi seorang Barat yang mengikuti perkembangan zaman.

Novel ini juga menyampaikan pesan moral dan nasional, seperti:

  • Pesan moral, yang ditunjukkan oleh nilai-nilai luhur yang dianut oleh tokoh-tokoh positif, seperti cinta, pengorbanan, kesetiaan, kejujuran, dan keberanian. Contohnya adalah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, yang rela mengorbankan hidup mereka demi cinta dan tanah air mereka.
  • Pesan nasional, yang ditunjukkan oleh semangat perjuangan dan patriotisme yang dimiliki oleh tokoh-tokoh negatif, seperti Tuanku Imam Bonjol, yang memimpin pemberontakan rakyat Minangkabau melawan Belanda. Contohnya adalah Samsul Bahri, yang akhirnya memilih untuk mati syahid dalam pertempuran melawan Belanda.

Kesimpulan

Novel Siti Nurbaya adalah novel yang sangat berharga dan bermakna bagi sastra dan sejarah Indonesia. Novel ini menggambarkan kisah cinta yang tragis dan menyentuh, sekaligus mengkritik berbagai ketidakadilan dan ketidaksesuaian yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Novel ini juga menyampaikan pesan moral dan nasional, yang menginspirasi pembacanya untuk mencintai dan memperjuangkan tanah airnya. Novel ini layak untuk dibaca dan dipelajari oleh generasi sekarang, agar tidak melupakan jasa dan pengorbanan para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia.