Selain itu, Marah Rusli juga dipengaruhi oleh situasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Ia menyaksikan bagaimana rakyat Indonesia menderita di bawah penindasan dan eksploitasi Belanda, yang menguasai tanah, sumber daya, dan perdagangan di negeri ini. Ia juga melihat bagaimana adat Minangkabau yang ia anut mulai tergerus oleh pengaruh Barat, yang membawa nilai-nilai modern seperti pendidikan, teknologi, dan demokrasi. Ia juga merasakan konflik batin antara menjadi seorang pribumi yang setia kepada tanah airnya, atau menjadi seorang Barat yang mengikuti perkembangan zaman.
Semua hal ini ia tuangkan dalam novel Siti Nurbaya, yang ia selesaikan pada tahun 1920. Ia mengirimkan naskahnya ke Balai Pustaka, penerbit resmi pemerintah kolonial Belanda, yang menerbitkannya pada tahun 1922. Novel ini mendapat sambutan yang baik dari para pembaca, dan dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia modern yang pertama. Novel ini juga mendapat penghargaan sastra dari pemerintah Indonesia pada tahun 1969, setahun setelah Marah Rusli meninggal dunia.
Alur Cerita Novel
Novel Siti Nurbaya terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Bagian Pertama: Perpisahan
Bagian pertama novel ini menceritakan tentang masa kecil dan remaja Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, yang tinggal di Padang. Mereka adalah tetangga dan teman sekolah yang saling menyukai. Siti Nurbaya adalah anak tunggal dari Bagindo Sulaiman, seorang pedagang kaya yang dermawan dan baik hati. Samsul Bahri adalah anak bungsu dari Sutan Mahmud Syah, seorang penghulu yang berwibawa dan berilmu.
Mereka berdua mendapatkan pendidikan di sekolah rakyat, yang dipimpin oleh seorang guru Belanda bernama Van Kol. Di sekolah itu, mereka belajar berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, sejarah, geografi, dan bahasa Belanda. Mereka juga belajar tentang nilai-nilai modern, seperti persamaan hak, kebebasan, dan demokrasi. Mereka bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi, dan berharap bisa bersama selamanya.
Namun, harapan mereka pupus ketika Samsul Bahri harus pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah dokter hewan. Ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda, yang ingin mencari orang pribumi yang berbakat untuk menjadi pegawai negeri. Sebelum berangkat, Samsul Bahri berjanji kepada Siti Nurbaya bahwa ia akan kembali dan menikahinya. Mereka berpisah dengan air mata dan rasa sedih yang mendalam.
Bagian Kedua: Pernikahan Paksa
Bagian kedua novel ini menceritakan tentang nasib Siti Nurbaya setelah Samsul Bahri pergi. Ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ayahnya, Bagindo Sulaiman, terjerat hutang oleh Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya yang rakus dan kejam. Datuk Maringgih adalah musuh bebuyutan Bagindo Sulaiman, yang selalu iri dan dengki terhadap kekayaan dan kedermawanan Bagindo Sulaiman. Datuk Maringgih juga mengincar Siti Nurbaya, yang ia anggap sebagai perempuan tercantik di Padang.





