Diksia.com - Novel Siti Nurbaya adalah salah satu karya sastra Indonesia yang paling terkenal dan berpengaruh. Novel ini ditulis oleh Marah Rusli, seorang dokter hewan asal Minangkabau yang berpendidikan Belanda. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922, dan sampai sekarang masih sering dibaca dan dipelajari di sekolah-sekolah Indonesia.
Novel ini menceritakan kisah cinta tragis antara Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, dua remaja yang berasal dari keluarga bangsawan di Padang. Mereka harus berpisah karena Samsul Bahri pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya, sementara Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya yang tamak dan kejam. Akhirnya, Siti Nurbaya meninggal karena dibunuh oleh suaminya, dan Samsul Bahri yang menjadi tentara Belanda juga tewas dalam sebuah pemberontakan.
Novel ini menggambarkan berbagai konflik sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, seperti pertentangan antara adat Minangkabau dan adat Barat, antara orang kaya dan orang miskin, antara kolonialisme dan nasionalisme, dan antara tradisi dan modernitas. Novel ini juga menggunakan berbagai unsur sastra tradisional, seperti pantun, syair, dan peribahasa, yang menunjukkan kekayaan dan keindahan bahasa Melayu.
Latar Belakang Penulisan Novel
Marah Rusli, penulis novel Siti Nurbaya, lahir di Padang pada tahun 1889. Ia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah seorang guru agama yang juga menjadi penghulu di Padang. Marah Rusli mendapatkan pendidikan dasar di sekolah rakyat, kemudian melanjutkan ke sekolah dokter hewan di Bogor. Setelah lulus, ia bekerja sebagai dokter hewan di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera.
Marah Rusli mulai menulis novel Siti Nurbaya pada tahun 1918, ketika ia sedang bertugas di Bengkulu. Ia terinspirasi oleh berbagai pengalaman pribadi dan sosial yang ia alami sejak kecil. Salah satunya adalah ketika ia menikah dengan seorang perempuan Sunda yang ia cintai, tetapi keluarganya tidak menyetujui dan memaksanya untuk kembali ke Padang dan menikah dengan seorang perempuan Minang yang dipilihkan. Hal ini membuat Marah Rusli merasakan penderitaan cinta yang tak terbalas, seperti yang dialami oleh tokoh Siti Nurbaya dan Samsul Bahri.





