Novel Laut Pasang 1994 by Lilpudu, Ketika Gelombang Menggulung Tujuh Jiwa

RediksiaSabtu, 22 Juni 2024 | 15:07 WIB
Novel Laut Pasang 1994 by Lilpudu, Ketika Gelombang Menggulung Tujuh Jiwa
Novel Laut Pasang 1994 by Lilpudu, Ketika Gelombang Menggulung Tujuh Jiwa

“Apta! Esa! Pegang tangan Mas yang kencang!”

Kalimat itu menjadi kalimat terakhir Khalid dalam usahanya yang ternyata sia-sia. Semuanya terjadi begitu cepat, air laut naik ke permukaan lebih ganas dari dugaannya dan mampu memisahkan genggaman tangan mereka tanpa belas kasihan.

“Bagaimanapun takdirnya nanti, tujuh ya akan tetap tujuh. Ingat kata Si Mbah, kita itu satu, satu jiwa yang terbagi di tujuh raga berbeda.”

Prolog

Tahun 1994 adalah tahun yang paling menyakitkan bagi diriku, juga bagi warga di kampungku. Kejadian tak terduga merenggut senyum dan kebahagiaan banyak orang.

Aku, yang keras kepala dan egois, pada peristiwa 2 Juni 1994, mendapatkan balasan atas semua perbuatanku. Malam itu, suara air yang naik dengan cepat ke daratan, teriakan, jeritan, dan benturan barang-barang menciptakan kekacauan.

Aku berusaha keras meneriaki satu persatu nama ketujuh anakku yang hanyut dibawa air malam itu. Takdir memang kejam.

Entah keberuntungan atau kesialan, aku selamat dari peristiwa itu. Sebuah tiang besar menjadi tumpuanku untuk menyelamatkan diri dari derasnya arus yang terus naik.

Mataku menerawang jauh ke berbagai penjuru, meski yang kulihat hanya mayat yang terapung dibawa arus. Segalanya gelap karena listrik padam. Beruntung, cahaya bintang masih sudi memberi sedikit sinarnya untuk manusia sepertiku.

Di bawah langit malam, tubuh ini sudah kehabisan tenaga. Manusia egois sepertiku hanya bisa menangis menyesali perbuatan pecundang yang telah dijalani bertahun-tahun.

Anak-anakku tak ada yang pulang, meski aku berusaha tetap membuka mata, mereka tak pernah datang. Suaraku nyaris habis, hanya gemuruh air terdengar seperti ejekan di telingaku. Mereka menertawakan sosok ayah brengsek yang tengah menyesali perbuatannya.

Jika ditakdirkan untuk merasakan kehilangan yang kedua kalinya, aku jelas lebih memilih mati daripada harus bertahan hidup dalam kesengsaraan. Melanjutkan hidup tanpa anak-anakku sama saja dengan hidup tanpa nyawa.

Jika terbukti tak ada yang selamat, aku memohon pada Tuhan untuk mencabut nyawaku sekarang. Aku benar-benar menyesal setengah mati. Menyesal karena belum sempat meminta maaf pada mereka.