Novel 86 Okky Madasari, Kisah Realita Kehidupan di Balik Seragam Pengadilan

RediksiaKamis, 10 Oktober 2024 | 14:17 WIB
Novel 86 Okky Madasari, Kisah Realita Kehidupan di Balik Seragam Pengadilan
Novel 86 Okky Madasari, Kisah Realita Kehidupan di Balik Seragam Pengadilan

Diksia.com - Novel 86 karya Okky Madasari adalah sebuah karya fiksi yang penuh kritik sosial dengan latar belakang kehidupan di lingkungan pengadilan. Diterbitkan pertama kali pada 1 Maret 2011 oleh PT Gramedia Pustaka Utama, novel ini menggambarkan fenomena korupsi dan ketidakadilan yang melekat di institusi pemerintah. Lewat tokoh Arimbi, seorang juru ketik di pengadilan negeri, Okky Madasari membawa pembaca untuk menyelami dilema moral serta pergulatan batin yang dialami para pegawai rendahan yang terjebak dalam sistem.

Arimbi bukanlah sosok yang luar biasa dalam dunia peradilan. Sebaliknya, ia hanyalah seorang pegawai negeri biasa dari keluarga petani yang melihat pekerjaan di pengadilan sebagai tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan gaji bulanan yang stabil, seragam resmi yang dianggap prestisius, dan janji uang pensiunan di masa tua, Arimbi menjadi kebanggaan keluarganya di desa. Namun, di balik kebanggaan itu, ada kenyataan pahit yang harus dihadapinya setiap hari—budaya suap, manipulasi hukum, dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh para aparat.

86! Sebagai Simbol Ketidakbenaran yang Diterima

Ungkapan “86!” yang menjadi judul novel ini merupakan istilah slang dalam dunia birokrasi Indonesia yang sering dikaitkan dengan penyelesaian masalah lewat jalan pintas atau kompromi, terutama yang berkaitan dengan uang pelicin. Dalam novel ini, Okky Madasari menggunakan istilah tersebut untuk melambangkan budaya permisif terhadap tindakan korupsi yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari keseharian di lembaga peradilan.

Arimbi, yang awalnya seorang pegawai lugu, perlahan ikut terseret dalam pusaran ini. Ia mulai terbiasa melihat suap, keputusan yang bisa diatur, serta kasus-kasus yang berakhir tanpa keadilan. Bagi para pegawai pengadilan seperti Arimbi, tidak ada lagi yang dianggap salah jika sudah dilakukan oleh banyak orang. Perasaan bersalah pun terkikis oleh asumsi bahwa semuanya bisa di-‘86’, asalkan tidak ada yang memprotes atau menyelidiki lebih dalam.

Kritik Sosial dan Realitas Kehidupan Pegawai Rendahan

Okky Madasari menyoroti betapa sulitnya bertahan dengan idealisme ketika berhadapan dengan realitas pekerjaan di lembaga pemerintah. Dengan gaya bahasa yang lugas dan narasi yang mengalir, pembaca akan diajak melihat bagaimana orang-orang seperti Arimbi, yang awalnya berpegang pada prinsip kejujuran, berubah menjadi bagian dari sistem yang ia sendiri tak lagi percayai. Budaya “semua bisa diatur” dalam novel 86 ini bukan hanya kritik terhadap individu, tetapi juga sindiran tajam terhadap sistem yang sudah terlanjur bobrok.

Selain itu, novel ini juga menunjukkan dilema moral para pegawai rendahan. Meski mereka paham bahwa menerima suap dan melakukan manipulasi adalah tindakan yang salah, kenyataan finansial sering kali membuat mereka tak punya pilihan. Dengan gaji pas-pasan dan tekanan dari berbagai pihak, banyak pegawai seperti Arimbi yang terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar.

Penerimaan dan Penghargaan

Sejak diterbitkan, 86 mendapatkan sambutan positif dari pembaca maupun kritikus sastra. Bahkan, novel ini berhasil masuk dalam nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun 2011 untuk kategori Fiksi. Okky Madasari dinilai berhasil menggambarkan realita dengan sangat detail dan menyentuh, membuat pembaca tidak hanya menyaksikan, tetapi juga merasakan keresahan para karakter di dalamnya.

Kekuatan novel 86 terletak pada kemampuannya menuturkan cerita dengan cara yang sangat manusiawi. Tokoh-tokoh dalam cerita bukanlah karikatur antagonis yang sepenuhnya jahat. Sebaliknya, mereka adalah individu-individu yang mungkin pernah kita temui dalam kehidupan nyata, dengan segala keterbatasan dan tekanan yang membuat mereka terjebak dalam perilaku yang tidak ideal. Novel ini berhasil mengangkat tema yang relevan dan kritis tanpa harus menggurui, melainkan mengajak pembaca untuk merenung.

Mengapa Kamu Harus Membaca Novel Ini?

Novel 86 layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang kompleksitas sistem birokrasi di Indonesia, khususnya di lembaga hukum. Melalui cerita Arimbi, Okky Madasari menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya soal uang atau kekuasaan, tetapi juga tentang manusia yang kehilangan harapan dan rasa benar. Ini adalah bacaan wajib bagi pecinta sastra Indonesia kontemporer yang mencari lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga refleksi tentang kondisi sosial kita.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, 86 karya Okky Madasari adalah sebuah karya sastra yang memberikan pandangan mendalam tentang realitas kehidupan pegawai negeri dengan segala problematikanya. Novel ini menghadirkan cerita yang menggugah sekaligus mengajak kita berpikir lebih jauh tentang nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang seharusnya menjadi dasar setiap tindakan. Dengan alur cerita yang kuat dan tema yang relevan, 86 adalah salah satu novel yang harus masuk dalam daftar bacaanmu.