Cerpen Robohnya Surau Kami: Sebuah Cerminan Realitas dan Kritik Sosial yang Pedas

RediksiaSelasa, 16 April 2024 | 17:30 WIB
Cerpen Robohnya Surau Kami, Sebuah Cerminan Realitas dan Kritik Sosial yang Pedas
Cerpen Robohnya Surau Kami, Sebuah Cerminan Realitas dan Kritik Sosial yang Pedas

Diksia.com - Karya sastra Indonesia kaya akan cerita-cerita yang tak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran dan mengantarkan kita pada refleksi diri. Salah satu contohnya adalah cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis.

Cerpen ini tak hanya terkenal di Indonesia, tetapi juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diakui secara internasional.

“Robohnya Surau Kami” bercerita tentang Pak Ajo Sidi, seorang penjaga surau tua yang sederhana dan tekun dalam ibadahnya. Ia menghabiskan hari-harinya dengan sholat, mengaji, dan menjaga kebersihan surau.

Bagi Pak Ajo Sidi, surau adalah tempat suci dan ibadah adalah segalanya. Namun, ketenangannya terusik ketika ia bertemu dengan Pak Maman, seorang pemuda yang datang ke surau dengan penuh keraguan dan pertanyaan tentang makna ibadah.

Percakapan antara Pak Ajo Sidi dan Pak Maman menjadi inti dari cerita ini. Pak Maman mempertanyakan apakah ibadah yang dilakukan Pak Ajo Sidi sudah cukup, mengingat surau yang mereka tempati sudah tua dan rapuh.

Pak Maman juga mempertanyakan mengapa Pak Ajo Sidi tidak melakukan hal lain untuk membantu masyarakat di sekitarnya.

Pak Ajo Sidi, yang terpaku pada pemahamannya tentang ibadah tradisional, merasa terguncang oleh pertanyaan Pak Maman.

Ia mulai mempertanyakan keyakinannya sendiri dan merasa bahwa ibadahnya selama ini mungkin sia-sia. Puncaknya, Pak Ajo Sidi mengalami krisis iman dan memilih untuk bunuh diri di dalam surau yang runtuh.

Cerpen Robohnya Surau Kami bukan hanya sebuah cerita tentang keraguan iman, tetapi juga kritik sosial yang pedas terhadap pemahaman sempit tentang ibadah dan peran agama dalam masyarakat.

A.A. Navis menunjukkan bahwa ibadah tak hanya tentang ritual dan doa, tetapi juga tentang tindakan nyata dan kepedulian terhadap sesama.

Cerpen ini juga mengkritik sikap statis dan kolot dalam beragama. Pak Ajo Sidi, yang terpaku pada tradisi dan enggan menerima perubahan, akhirnya terjebak dalam kegelapan dan keputusasaan.

Di sisi lain, Pak Maman mewakili generasi muda yang berani mempertanyakan dan mencari makna baru dalam beragama.