Diksia.com - Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri merupakan tradisi yang tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia. Tradisi ini telah mengakar kuat dan menjadi kebiasaan bagi para perantau yang ingin merayakan momen spesial bersama keluarga di kampung halaman.
Liburan lebaran yang biasanya berlangsung selama satu minggu dimanfaatkan dengan optimal oleh perantau untuk melepas rindu dan menjalin silaturahmi dengan sanak saudara yang jarang ditemui karena kesibukan di tanah rantau.
Tradisi mudik ini telah berlangsung hampir setiap tahun, dan menariknya, makna kata “mudik” memiliki sejarah panjang dan menarik untuk ditelusuri.
Sejarah Kata Mudik
Jika ditelusuri lebih jauh, asal mula kata “mudik” telah ada sejak tahun 1390. Hal ini diungkapkan oleh Ivan Lanin, seorang wipediawan pencinta Bahasa Indonesia dan direktur dari Narabahasa.
Kata “mudik” ditemukan dalam naskah kuno Hikayat Raja Pasai yang berbahasa Melayu dan bertarikh sekitar 1390, berdasarkan hasil penelusuran dari Malay Concordance Project.
Menurut Ivan Lanin, kata “mudik” tampaknya memiliki keterkaitan dengan kata “udik” yang berarti hulu sungai, yang dilawankan dengan kata “ilir” yang berarti hilir.
Seiring waktu, makna kata “mudik” mengalami pergeseran. Kata yang awalnya berarti “pergi ke hulu sungai” kini memiliki arti “pergi ke kampung”. Hal ini didasari oleh identifikasi hulu sungai sebagai kampung halaman tempat orang berasal.
Pendapat lain mengenai asal mula kata “mudik” dikemukakan oleh JJ Rizal, sejarawan dan Direktur Penerbit Komunitas Bambu. Ia mengatakan bahwa “udik” adalah asal kata dari “mudik” yang berarti “kampung atau desa”.
Orang-orang yang merantau akan kembali ke desa tempat kelahirannya di waktu-waktu tertentu, seperti pada waktu lebaran atau di waktu lainnya.
Sementara itu, dalam bahasa Betawi, kata “udik” memiliki arti “kampung” yang kemudian mengalami penyederhanaan menjadi “mudik”. Dalam bahasa Jawa, “mudik” diartikan sebagai kependekan dari “mulih dhisik” yang berarti “pulang terlebih dahulu”.
Asal Usul Tradisi Mudik
Tradisi mudik telah ada sejak zaman kerajaan, seperti era Majapahit dan Mataram Islam. Pada masa itu, pejabat kerajaan yang bertugas di daerah kekuasaannya akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap penguasa, terutama pada saat Hari Raya Idul Fitri. Hal inilah yang dikaitkan dengan tradisi mudik.
Selain di era Majapahit, tradisi mudik juga terjadi di era Mataram Islam. Pejabat di era tersebut yang berjaga di wilayah kekuasaannya akan kembali ke daerah asal untuk menghadap raja pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Istilah “mudik” baru populer pada tahun 1970-an. Hal ini sejalan dengan urbanisasi yang terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an, di mana banyak orang dari desa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Mudik menjadi momen spesial bagi para perantau untuk melepas rindu dan menjalin silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman.
Tradisi ini tidak hanya berarti pulang ke kampung halaman, tetapi juga diwarnai dengan berbagai tradisi lainnya, seperti ziarah kubur dan bersilaturahmi dengan tetangga.
Tradisi mudik merupakan salah satu tradisi budaya yang melekat pada masyarakat Indonesia dan telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini menjadi bukti kuat ikatan batin dan rasa cinta para perantau terhadap kampung halamannya.
Fakta Menarik Seputar Mudik:
- Mudik merupakan tradisi terbesar di dunia yang melibatkan pergerakan jutaan orang.
- Puncak arus mudik biasanya terjadi pada H-7 lebaran.
- Berbagai moda transportasi digunakan untuk mudik, seperti mobil pribadi, motor, kereta api, pesawat terbang, dan bus.
- Mudik memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi daerah-daerah di Indonesia.
Kesimpulan
Tradisi mudik merupakan bagian integral dari budaya masyarakat Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini bukan hanya tentang pulang ke kampung halaman, tetapi juga tentang menjalin silaturahmi, memperkuat rasa kekeluargaan, dan menjaga tradisi leluhur.





