Sinopsis Film Race (2016): Kisah Inspiratif Jesse Owens, Sang Legenda Olimpiade

RediksiaSabtu, 17 Februari 2024 | 16:53 WIB
Sinopsis Film Race (2016): Kisah Inspiratif Jesse Owens, Sang Legenda Olimpiade
Sinopsis Film Race (2016): Kisah Inspiratif Jesse Owens, Sang Legenda Olimpiade. Foto: TMDB

Diksia.com - Film Race (2016) adalah film drama biografi yang mengisahkan tentang perjuangan dan prestasi Jesse Owens, atlet kulit hitam asal Amerika Serikat yang berhasil meraih empat medali emas di Olimpiade Berlin 1936.

Film ini disutradarai oleh Stephen Hopkins dan dibintangi oleh Stephan James, Jason Sudeikis, Jeremy Irons, William Hurt, dan Carice van Houten. Film ini merupakan hasil kerjasama produksi antara Kanada, Prancis, dan Jerman.

Sinopsis Film Race (2016)

Di tahun 1930-an, Amerika Serikat dilanda depresi dan rasisme yang merajalela. Di tengah situasi ini, seorang pemuda kulit hitam bernama Jesse Owens bercita-cita menjadi pelari tercepat di dunia. Film Race (2016) menceritakan kisah inspiratif Owens dalam meraih mimpinya dan melawan rasisme di Olimpiade Berlin 1936.

Owens, yang dibesarkan di Alabama, menunjukkan bakat luar biasa dalam berlari sejak kecil. Ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Ohio State University, di mana ia dilatih oleh pelatih legendaris Larry Snyder. Di bawah bimbingan Snyder, Owens berkembang menjadi pelari yang luar biasa, memecahkan berbagai rekor dunia.

Meskipun Owens menunjukkan prestasinya, ia harus menghadapi berbagai rintangan karena rasnya. Di Amerika, ia dipisahkan dari orang kulit putih dan ditolak masuk ke beberapa hotel dan restoran. Di Jerman, Nazi yang berkuasa menganggap Olimpiade sebagai ajang propaganda untuk menunjukkan keunggulan ras Arya. Owens dipaksa untuk bersaing di bawah tekanan politik dan rasisme yang luar biasa.

Di Olimpiade Berlin, Owens membuktikan bahwa ia adalah pelari tercepat di dunia. Ia memenangkan empat medali emas dalam lari 100 meter, 200 meter, lompat jauh, dan lari estafet 4×100 meter. Prestasi Owens mencengangkan dunia dan membungkam para kritikusnya.

Kisah Jesse Owens adalah kisah tentang tekad, keberanian, dan perjuangan melawan rasisme. Prestasinya di Olimpiade Berlin 1936 menjadi simbol perlawanan dan inspirasi bagi orang-orang di seluruh dunia. Film Race (2016) adalah film yang mengharukan dan inspiratif yang wajib ditonton oleh semua orang.

Latar Belakang Film

Film Race (2016) terinspirasi dari kisah nyata Jesse Owens, yang lahir dengan nama James Cleveland Owens pada 12 September 1913 di Oakville, Alabama. Ia merupakan anak bungsu dari sepuluh bersaudara yang hidup dalam kemiskinan dan diskriminasi rasial.

Pada usia sembilan tahun, ia pindah bersama keluarganya ke Cleveland, Ohio, di mana ia mendapat julukan “Jesse” dari salah seorang gurunya yang salah mendengar namanya. Ia mulai menunjukkan bakatnya dalam olahraga lari dan lompat jauh sejak sekolah menengah, dan melanjutkan karirnya di Ohio State University.

Di sana, ia bertemu dengan pelatih Larry Snyder, yang membimbingnya untuk menjadi atlet terbaik di dunia.

Alur Cerita Film

Film Race (2016) mengikuti perjalanan Jesse Owens dari masa kuliahnya di Ohio State University hingga partisipasinya di Olimpiade Berlin 1936. Di kampus, ia menghadapi berbagai tantangan, baik dari rekan-rekan atlet kulit putih yang merendahkannya, maupun dari kehidupan pribadinya yang rumit.

Ia memiliki pacar bernama Ruth, yang telah melahirkan anak perempuan mereka, Gloria, namun belum menikah dengannya. Ia juga tergoda oleh seorang wanita glamor yang menawarkan kehidupan mewah dan sensasional. Selain itu, ia juga harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Di tengah situasi yang sulit, ia mendapat dukungan dari pelatihnya, Larry Snyder, yang meyakinkannya bahwa ia bisa mencapai mimpi-mimpinya di Olimpiade. Snyder mengajarkan Owens teknik-teknik lari dan lompat yang lebih baik, dan membantunya mengatasi rasa gugup dan takut. Snyder juga menjadi teman dan mentor bagi Owens, yang sering kali merasa kesepian dan tertekan.

Sementara itu, di Jerman, pemerintah Nazi sedang mempersiapkan Olimpiade Berlin 1936 sebagai ajang propaganda untuk menunjukkan keunggulan ras Arya mereka. Adolf Hitler, pemimpin Nazi, berencana untuk memanfaatkan Olimpiade sebagai panggung politik untuk memperkuat citra Jerman di mata dunia.

Ia memerintahkan Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi, untuk mengatur segala sesuatu agar Olimpiade berjalan sesuai dengan keinginan mereka. Goebbels menunjuk Leni Riefenstahl, seorang sineas terkenal, untuk membuat film dokumenter tentang Olimpiade, yang berjudul Olympia.

Di Amerika Serikat, terjadi perdebatan apakah negara itu harus mengikuti Olimpiade atau memboikotnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan diskriminatif dan represif Nazi terhadap orang-orang Yahudi dan kulit berwarna.

Komite Olimpiade Amerika Serikat (USOC) akhirnya memutuskan untuk berpartisipasi setelah mendapat jaminan dari Goebbels bahwa atlet-atlet dari semua ras akan diperbolehkan bertanding, dan bahwa propaganda Nazi akan dikurangi selama Olimpiade berlangsung. Namun, keputusan ini menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, termasuk dari beberapa atlet sendiri.

Owens juga menghadapi dilema apakah ia harus pergi ke Berlin atau tidak. Ia merasa bingung antara mengikuti panggilan hatinya untuk membuktikan kemampuannya di dunia, atau menghormati keinginan keluarga dan teman-temannya yang khawatir dengan keselamatannya.

Ia juga mendapat tekanan dari beberapa aktivis kulit hitam, yang memintanya untuk tidak memberi legitimasi kepada rezim Nazi dengan kehadirannya. Owens akhirnya memilih untuk pergi ke Berlin, dengan harapan bahwa ia bisa mengubah pandangan dunia tentang ras kulit hitam dengan prestasinya.

Di Berlin, Owens disambut dengan antusiasme oleh para penonton, yang terpesona oleh kecepatan dan keindahan gerakannya. Ia berhasil memenangkan empat medali emas, yaitu di nomor 100 meter, 200 meter, lompat jauh, dan estafet 4×100 meter. Ia menjadi atlet pertama dalam sejarah Olimpiade yang meraih prestasi tersebut.

Ia juga mencetak rekor dunia baru di nomor 200 meter dan lompat jauh. Prestasi Owens membuat Hitler marah dan malu, karena ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa seorang kulit hitam bisa mengalahkan atlet-atlet Arya yang ia anggap superior. Hitler menolak untuk memberi selamat kepada Owens, dan bahkan meninggalkan stadion sebelum upacara pemberian medali berakhir.

Owens juga menjalin persahabatan dengan beberapa atlet lain, baik dari Amerika maupun dari negara-negara saingan. Salah satunya adalah Luz Long, atlet lompat jauh asal Jerman, yang memberi saran kepada Owens saat ia hampir gagal lolos ke final.

Long dan Owens berpelukan setelah Owens memenangkan medali emas, dan berjanji untuk tetap berhubungan. Namun, Long kemudian tewas dalam Perang Dunia II, dan surat-suratnya kepada Owens menjadi saksi dari persahabatan mereka yang melampaui batas ras dan negara.

Owens juga mendapat perhatian dari Riefenstahl, yang tertarik untuk merekam aksi-aksi Owens dalam filmnya. Riefenstahl mengabaikan perintah Goebbels untuk tidak menyorot atlet-atlet kulit berwarna, dan bahkan membantu Owens untuk menghindari penjagaan ketat Nazi.

Riefenstahl juga menghadapi tantangan dan tekanan dalam pembuatan filmnya, karena ia ingin membuat karya seni yang objektif dan artistik, bukan propaganda politik.

Pesan dan Makna Film

Film Race (2016) mengajarkan kita tentang nilai-nilai keberanian, tekad, toleransi, dan persahabatan, yang bisa mengatasi segala rintangan dan perbedaan. Film ini juga menginspirasi kita untuk mengejar mimpi-mimpi kita, dan tidak membiarkan apapun menghalangi kita untuk menjadi yang terbaik.

Film ini juga mengingatkan kita tentang sejarah gelap masa lalu, di mana banyak orang yang menderita dan mati karena kebencian dan ketidakadilan. Film ini mengajak kita untuk belajar dari kesalahan-kesalahan itu, dan berusaha untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis.

Film Race (2016) adalah film yang penting dan inspiratif yang mengingatkan kita tentang kekuatan tekad dan keberanian dalam menghadapi rintangan. Kisah Jesse Owens adalah kisah yang patut diingat dan diceritakan kembali kepada generasi berikutnya.