Diksia.com - Istilah Taper Tantrum mungkin terdengar asing, namun ancaman gejolak ekonomi yang ditimbulkannya bisa sangat nyata memengaruhi kondisi keuangan kita.
Fenomena yang pernah mengguncang pasar keuangan global pada tahun 2013 ini kembali menjadi perhatian seiring dinamika kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed).
Lantas, apa sebenarnya Taper Tantrum itu dan seberapa besar dampaknya jika benar-benar terjadi pada kita?
Taper Tantrum: Pengertian dan Asal Muasalnya
Secara sederhana, Taper Tantrum adalah istilah yang menggambarkan kepanikan atau gejolak pasar keuangan yang muncul akibat kebijakan tapering off yang dilakukan oleh The Fed.
Kata taper merujuk pada tapering off, yaitu pengurangan bertahap kebijakan pembelian aset (obligasi atau surat utang pemerintah) yang dilakukan The Fed.
Pembelian aset dalam jumlah besar ini dikenal sebagai Quantitative Easing (QE), sebuah stimulus yang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas di pasar keuangan saat ekonomi melemah (seperti pasca krisis global 2008).
Sementara itu, kata tantrum mengacu pada reaksi pasar yang panik, mirip ledakan emosi anak-anak, ketika The Fed mengumumkan pengurangan stimulus ini.
Gejolak ini pertama kali muncul pada tahun 2013, saat The Fed pertama kali mengumumkan rencana mengurangi QE-nya karena ekonomi AS dinilai mulai pulih.
Pengumuman tersebut langsung memicu lonjakan imbal hasil obligasi AS dan aliran modal keluar (capital outflow) besar-besaran dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Mengapa Taper Tantrum Kembali Menghantui?
Ancaman Taper Tantrum selalu muncul ketika The Fed memberikan sinyal akan melakukan pengetatan kebijakan moneter. Pengetatan ini biasanya ditandai dengan dua hal: tapering off (pengurangan pembelian aset) dan rencana kenaikan suku bunga acuan (Fed Fund Rate).
Saat ekonomi AS menguat dan inflasi meningkat, The Fed biasanya akan menarik kembali likuiditas yang berlebihan di pasar dengan cara mengurangi QE dan menaikkan suku bunga.
Langkah ini membuat aset-aset di AS, terutama obligasi dan dolar AS, menjadi lebih menarik bagi investor global dibandingkan investasi di emerging market seperti Indonesia.
Akibatnya, investor asing akan cenderung menarik dananya kembali ke AS, memicu capital outflow dari negara kita.
Efek Taper Tantrum ke Kita
Jika Taper Tantrum benar-benar terjadi, dampaknya akan terasa luas dan bisa langsung memengaruhi kondisi keuangan pribadi kamu:
1. Rupiah Melemah, Harga Barang Impor Naik
Capital outflow menyebabkan permintaan terhadap dolar AS meningkat drastis karena banyak investor yang menukar aset rupiah mereka kembali menjadi dolar. Hal ini membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tertekan atau melemah.
Melemahnya rupiah berdampak langsung pada kenaikan harga-harga barang yang masih bergantung pada impor, seperti bahan baku industri, gandum, kedelai, hingga komponen elektronik. Kenaikan harga ini pada akhirnya dapat menggerus daya beli dan pendapatan kita sehari-hari.
2. Suku Bunga Kredit Meningkat
Untuk menahan laju capital outflow dan menjaga daya tarik investasi di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan merespons dengan menaikkan suku bunga acuannya (BI 7-Day Reverse Repo Rate).
Kenaikan suku bunga acuan BI berpotensi diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit di perbankan. Bagi kamu yang memiliki cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit kendaraan bermotor (KKB) dengan bunga mengambang, biaya cicilan bulanan kamu berisiko menjadi lebih mahal.
3. Gejolak di Pasar Modal dan Investasi
Kepanikan pasar yang dipicu Taper Tantrum juga akan memukul pasar saham dan obligasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat mengalami koreksi tajam karena investor asing melepas saham-saham mereka.
Bagi kamu yang berinvestasi di saham atau reksa dana berbasis saham dan obligasi, nilai investasi kamu berpotensi menurun dalam jangka pendek. Meski demikian, bagi investor jangka panjang, periode koreksi ini seringkali dilihat sebagai peluang untuk membeli aset dengan harga diskon.
Kesiapan Indonesia Menghadapi Ancaman
Meskipun ancaman Taper Tantrum nyata, pemerintah dan otoritas moneter Indonesia, seperti Bank Indonesia, telah menyatakan kesiapannya. Pengalaman di tahun 2013 menjadi pelajaran berharga.
BI optimistis bahwa koordinasi yang lebih baik dengan pemerintah, cadangan devisa yang lebih kuat, dan komunikasi yang lebih transparan dari The Fed akan membuat dampak gejolak kali ini lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
Namun, sebagai masyarakat, kita perlu tetap waspada. Kesiapan finansial pribadi, seperti memiliki dana darurat yang cukup dan melakukan diversifikasi investasi, adalah kunci untuk melindungi diri dari guncangan ekonomi global.