Diksia.com - Dalam dunia properti yang semakin dinamis, transaksi jual beli rumah menjadi salah satu investasi utama bagi banyak orang. Namun, di balik kegembiraan memiliki hunian impian, ada berbagai pajak dan biaya tambahan yang perlu dihitung dengan teliti.
Pada tahun 2025 ini, pemerintah Indonesia menerapkan regulasi terbaru yang mencakup penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, meskipun tetap ada insentif menarik untuk meringankan beban pembeli.
Artikel ini akan membahas secara rinci perhitungan pajak jual beli rumah beserta biaya pendukungnya, agar transaksi kamu berjalan mulus tanpa kejutan tak terduga.
Jenis Pajak Utama dalam Transaksi Jual Beli Rumah
Pajak jual beli rumah dibagi menjadi dua kelompok utama: yang dibayar penjual dan yang dibayar pembeli. Kita perlu memahami masing-masing agar perencanaan keuangan lebih matang.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pertama, bagi penjual, Pajak Penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan menjadi fokus utama. Tarif standar adalah 2,5 persen dari harga jual jika penjual memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Jika tidak, tarif naik menjadi 5 persen. Perhitungannya sederhana: PPh = 2,5 persen x Harga Jual (untuk pemilik NPWP). Misalnya, jika harga jual rumah mencapai Rp500 juta, maka PPh yang harus dibayar adalah Rp12,5 juta.
Tarif ini berlaku untuk lahan seluas kurang dari 10 hektar dan bangunan kurang dari 10 meter persegi di wilayah kota, sesuai ketentuan Direktorat Jenderal Pajak.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Sementara itu, pembeli bertanggung jawab atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak ini dihitung sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
NPOP biasanya diambil dari nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang lebih tinggi, sedangkan NPOPTKP bervariasi per daerah—misalnya Rp60 juta di DKI Jakarta.
Rumusnya: BPHTB = 5 persen x (NPOP – NPOPTKP). Contoh: Untuk rumah senilai Rp800 juta dengan NPOPTKP Rp60 juta, BPHTB menjadi 5 persen x (Rp800 juta – Rp60 juta) = Rp37 juta. Pajak ini harus disetor sebelum balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional.
Jika rumah yang dibeli adalah unit baru dari pengembang yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ikut berlaku. Tarif PPN pada 2025 adalah 12 persen dari harga jual, dihitung sebagai PPN = 12 persen x Harga Jual.
Namun, kabar baiknya, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) masih berlaku hingga akhir tahun ini. Untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar, pemerintah menanggung 100 persen PPN; sementara untuk harga Rp2 miliar hingga Rp5 miliar, diskon mencapai 50 persen.
Contoh: Rumah Rp1,5 miliar akan bebas PPN sepenuhnya berkat insentif ini, sehingga pembeli hanya membayar harga pokok.
Biaya Tambahan yang Sering Terlupakan
Selain pajak utama, transaksi jual beli rumah juga melibatkan biaya pendukung yang bisa menambah total pengeluaran hingga 5-7 persen dari nilai properti. Kita harus antisipasi ini agar anggaran tidak membengkak.
Biaya notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjadi yang paling signifikan, biasanya 1-2 persen dari harga transaksi, tergantung kompleksitas akta jual beli. Untuk rumah Rp500 juta, biaya ini sekitar Rp5-10 juta, mencakup penyusunan akta dan pendaftaran.
Selanjutnya, biaya balik nama sertifikat di kantor pertanahan sekitar Rp50.000 hingga Rp100.000 per bidang tanah, plus biaya materai Rp10.000 per lembar dokumen.
Jangan lupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) jika ada tunggakan dari penjual, yang dihitung berdasarkan NJOP dengan tarif 0,5 persen. Biaya lain termasuk appraisal properti (Rp1-2 juta) untuk verifikasi nilai, serta asuransi jiwa atau kebakaran jika diwajibkan bank untuk KPR.
Di era digital 2025, banyak layanan notaris online yang bisa memangkas biaya hingga 20 persen, jadi manfaatkan aplikasi resmi dari Kementerian Agraria untuk proses yang lebih cepat.
Tips Praktis untuk Mengoptimalkan Transaksi
Agar transaksi jual beli rumah lebih efisien, kita bisa terapkan beberapa strategi sederhana.
- Pastikan kedua pihak memiliki NPWP untuk memanfaatkan tarif PPh terendah.
- Cek NJOP terbaru di situs Direktorat Jenderal Pajak agar perhitungan BPHTB akurat dan hindari denda keterlambatan.
- Prioritaskan pembelian rumah baru di bawah Rp2 miliar untuk memaksimalkan insentif PPN DTP, yang bisa menghemat jutaan rupiah.
Selain itu, konsultasikan dengan konsultan pajak atau notaris berlisensi sebelum tanda tangan akta, terutama jika melibatkan KPR. Di 2025, platform digital seperti e-notaris memudahkan pelacakan pembayaran pajak secara real-time, mengurangi risiko kesalahan administratif.
Pajak jual beli rumah memang terlihat rumit, tapi dengan pemahaman perhitungan yang tepat, transaksi ini bisa menjadi langkah investasi yang menguntungkan. Dari PPh 2,5 persen untuk penjual hingga BPHTB 5 persen dan insentif PPN untuk pembeli, semuanya dirancang untuk mendukung sektor properti nasional.
Kita semua bisa menikmati hunian idaman tanpa beban berlebih, asal hitung-hitungan dilakukan sejak awal. Jika kamu sedang merencanakan pembelian, mulailah dengan simulasi anggaran hari ini untuk hasil yang lebih optimal.