Diksia.com - Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa, dikenal tidak hanya karena kebijaksanaan dakwahnya, tetapi juga strategi perkawinannya yang memperkuat pengaruh Islam.
Salah satu pernikahan penting dalam hidupnya adalah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di daerah Tuban bernama Arya Teja. Perkawinan ini bukan sekadar ikatan pribadi, tetapi juga bagian dari strategi dakwah yang cerdas untuk memperluas jaringan keislaman di tanah Jawa. Mari kita telusuri kisah ini lebih dalam.
Latar Belakang Sunan Ampel
Sunan Ampel, yang memiliki nama asli Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah, lahir pada tahun 1401 di Champa, sebuah wilayah yang kini berada di Vietnam tengah. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Gresik, dan Dewi Candrawulan, seorang putri dari Kerajaan Champa.
Sebagai keponakan Dyah Dwarawati, istri Raja Majapahit Bhre Kertabhumi, Sunan Ampel memiliki ikatan keluarga yang kuat dengan kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Jawa saat itu. Hubungan ini menjadi modal penting dalam misi dakwahnya.
Pada tahun 1443, Sunan Ampel tiba di Pulau Jawa bersama ayah dan saudaranya untuk menyebarkan ajaran Islam. Setelah singgah di Palembang dan mengislamkan adipati setempat, Arya Damar, rombongannya melanjutkan perjalanan ke Tuban. Di sinilah kisah pernikahannya dengan putri adipati Tuban dimulai, yang menjadi salah satu tonggak penting dalam penyebaran Islam.
Pernikahan dengan Nyai Ageng Manila
Saat tiba di Majapahit, Sunan Ampel tidak hanya bertemu dengan bibinya, Dyah Dwarawati, tetapi juga mendapat kepercayaan dari Raja Majapahit untuk memperbaiki tatanan sosial yang kala itu mulai goyah akibat gaya hidup hedon para adipati.
Untuk memperkuat posisinya, Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja, seorang bupati Tuban yang juga menantu Adipati Surabaya, Arya Lembu Sura, yang beragama Islam. Perkawinan ini terjadi saat Sunan Ampel mulai berdakwah di wilayah Surabaya, tepatnya di Ampel Denta, yang kini menjadi bagian dari Surabaya utara.
Pernikahan dengan Nyai Ageng Manila bukan hanya simbol cinta, tetapi juga strategi dakwah. Dengan menikahi putri adipati Tuban, Sunan Ampel membentuk ikatan kekerabatan dengan keluarga penguasa lokal. Ini memudahkan penyebaran ajaran Islam, karena ia mendapatkan dukungan politik dan sosial dari penguasa setempat.
Dari pernikahan ini, lahir beberapa putra dan putri, di antaranya Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Syarifuddin), dan Nyai Ageng Maloka. Anak-anak ini kelak menjadi tokoh penting dalam melanjutkan misi dakwah ayah mereka.
Strategi Dakwah Melalui Pernikahan
Sunan Ampel dikenal sebagai pelopor strategi dakwah melalui perkawinan. Ia tidak hanya menikahi putri adipati Tuban, tetapi juga menikahkan santrinya dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit.
Misalnya, putrinya, Dewi Murtasiyah, dinikahkan dengan Raden Paku (Sunan Giri), dan Dewi Murtasimah dengan Raden Patah, yang kelak menjadi Sultan Demak pertama. Strategi ini menciptakan jaringan keluarga Muslim yang kuat, yang menjadi tulang punggung penyebaran Islam di berbagai daerah di Jawa.
Selain perkawinan, Sunan Ampel juga menggunakan pendekatan lain, seperti mendirikan pesantren di Ampel Denta. Di pesantren ini, ia mendidik para dai, seperti Raden Patah, Sunan Giri, dan Sunan Bonang, yang kemudian menyebarkan Islam ke berbagai penjuru Jawa.
Ia juga memperkenalkan falsafah Moh Limo, yang mengajarkan untuk menghindari lima perbuatan tercela: berjudi, mabuk, mencuri, menggunakan narkoba, dan berzina. Ajaran ini sangat relevan untuk memperbaiki akhlak masyarakat pada masa itu.