Sejarah Kerajaan Kutai, Jejak Peradaban Hindu Tertua di Indonesia

RediksiaSenin, 8 September 2025 | 09:26 WIB
Sejarah Kerajaan Kutai, Jejak Peradaban Hindu Tertua di Indonesia
Sejarah Kerajaan Kutai, Jejak Peradaban Hindu Tertua di Indonesia

Diksia.com - Kerajaan Kutai, yang berdiri di tepian Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Berdiri sekitar abad ke-4 Masehi, kerajaan ini menjadi cikal bakal peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Dengan bukti sejarah berupa tujuh prasasti Yupa, kita bisa menelusuri jejak kejayaan, kebudayaan, dan kehidupan masyarakat Kutai pada masa itu. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang sejarah, masa kejayaan, peninggalan, dan faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Kutai.

Asal-Usul dan Pendirian Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai, yang dikenal juga sebagai Kutai Martadipura, diperkirakan berdiri pada sekitar tahun 400 Masehi di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Nama Kutai sendiri diambil dari tempat ditemukannya prasasti-prasasti bersejarah, meskipun nama resmi kerajaan ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam sumber sejarah. Awalnya, masyarakat Kutai hidup dalam kelompok suku yang dipimpin oleh seorang kepala suku bernama Kudungga. Nama Kudungga dianggap sebagai nama asli Indonesia yang belum terpengaruh budaya India.

Pada masa pemerintahan Kudungga, sistem pemerintahan mulai berubah dari kesukuan menjadi monarki setelah masuknya pengaruh Hindu dari India. Putranya, Aswawarman, menjadi raja pertama yang menunjukkan pengaruh kuat budaya Hindu, sebagaimana terlihat dari nama Warman yang kental dengan nuansa Sanskerta, yang sering digunakan di India Selatan. Aswawarman juga dikenal sebagai pendiri dinasti kerajaan, yang kemudian membawa Kutai menuju puncak kejayaan di bawah kepemimpinan putranya, Mulawarman.

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai

Puncak kejayaan Kerajaan Kutai terjadi pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, cucu Kudungga dan anak Aswawarman. Mulawarman dikenal sebagai raja yang bijaksana, kuat, dan dekat dengan rakyatnya. Ia berhasil menciptakan stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi yang signifikan. Salah satu pencapaian besar Mulawarman adalah mengadakan upacara Vratyastoma, sebuah ritual penghinduan yang dipimpin oleh pendeta Brahmana lokal. Upacara ini menunjukkan tingginya kemampuan intelektual masyarakat Kutai, terutama dalam penguasaan Bahasa Sanskerta, yang bukan bahasa sehari-hari pada masa itu.

Letak Kerajaan Kutai yang strategis di tepi Sungai Mahakam mendukung perkembangan ekonomi, khususnya di bidang pertanian dan perdagangan. Sungai Mahakam menjadi sumber air yang mendukung pertanian, memungkinkan masyarakat untuk bercocok tanam dengan hasil panen yang melimpah.

Selain itu, masyarakat Kutai juga mengembangkan peternakan, terutama sapi, yang turut memperkuat ekonomi kerajaan. Mulawarman juga terkenal karena kedermawanannya, seperti memberikan hadiah emas dalam jumlah besar kepada rakyat dan sebagai persembahan untuk dewa dalam ritual keagamaan.

Keberhasilan Mulawarman tidak hanya terbatas pada ekonomi. Ia juga dikenal sebagai raja yang memperluas wilayah kekuasaan melalui peperangan dan ritual Ashvamedha, sebuah tradisi Vedic di mana kuda dilepas untuk menandai batas wilayah kekuasaan kerajaan. Langkah ini menunjukkan kekuatan militer dan pengaruh politik Kutai pada masa itu.

Peninggalan Bersejarah Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai meninggalkan sejumlah peninggalan bersejarah yang menjadi bukti kejayaan dan kebudayaannya. Berikut adalah beberapa peninggalan penting yang perlu kamu ketahui:

1. Prasasti Yupa

Prasasti Yupa adalah peninggalan paling terkenal dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah Yupa, yaitu tugu batu yang digunakan sebagai tanda peringatan atau pengikat hewan kurban. Prasasti ini ditulis dalam Bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa, yang menunjukkan pengaruh kuat budaya India. Isi prasasti menceritakan silsilah raja-raja Kutai, mulai dari Kudungga, Aswawarman, hingga Mulawarman, serta berbagai upacara keagamaan yang dilakukan. Prasasti ini ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman, dan kini sebagian besar disimpan di Museum Nasional Jakarta.

2. Kura-Kura Emas

Salah satu peninggalan unik adalah patung kura-kura emas yang ditemukan di sekitar Long Lalang, hulu Sungai Mahakam. Patung ini merupakan persembahan dari Kerajaan Cina untuk Aji Bidara Putih, putri Kerajaan Kutai, yang menjadi simbol hubungan diplomatik dan lamaran dari seorang pangeran. Kura-kura emas ini kini disimpan di Museum Mulawarman.

3. Pedang Sultan Kutai

Peninggalan lain adalah Pedang Sultan Kutai, yang diperkirakan dibuat pada abad ke-13. Pedang ini menjadi simbol kebesaran dan kekuatan kerajaan, meskipun berasal dari periode yang lebih akhir dibandingkan masa kejayaan Kutai Martadipura. Peninggalan-peninggalan ini tidak hanya menunjukkan kemajuan budaya dan keagamaan, tetapi juga kecerdasan masyarakat Kutai dalam menguasai tulisan dan seni pada masa itu.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Kutai mencerminkan perpaduan antara budaya lokal dan pengaruh Hindu dari India. Meskipun menerima unsur budaya asing, masyarakat Kutai tetap melestarikan tradisi lokal, seperti keberlanjutan tradisi Megalitikum yang terlihat dari pembuatan Yupa. Upacara keagamaan seperti Vratyastoma menunjukkan adanya golongan Brahmana lokal yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, termasuk penguasaan Bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa.

Mata pencaharian utama masyarakat adalah pertanian, peternakan, dan perdagangan. Letak strategis di Sungai Mahakam memungkinkan perdagangan dengan pedagang dari luar, termasuk dari India dan Cina. Sistem perpajakan yang diterapkan kepada pedagang asing juga turut memperkaya kas kerajaan. Kehidupan sosial ditandai dengan adanya golongan terdidik, seperti Brahmana dan Ksatria, yang memainkan peran penting dalam pemerintahan dan keagamaan.

Runtuhnya Kerajaan Kutai

Masa kejayaan Kerajaan Kutai tidak berlangsung lama setelah kepemimpinan Mulawarman. Setelah masa pemerintahannya, kerajaan mengalami pergantian pemimpin yang cukup sering, yang menyebabkan melemahnya stabilitas politik. Pada abad ke-13, Kerajaan Kutai Martadipura menghadapi ancaman dari Kerajaan Kutai Kartanegara, sebuah kerajaan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 di Kutai Lama.

Pada tahun 1635, terjadi konflik bersenjata selama tujuh hari tujuh malam antara Kutai Martadipura dan Kutai Kartanegara. Pertempuran ini berakhir dengan kekalahan Kutai Martadipura setelah rajanya, Maharaja Dermasatia, tewas di tangan Pangeran Sinum Panji Mendapa, raja kedelapan Kutai Kartanegara. Kekalahan ini menandai runtuhnya Kerajaan Kutai Martadipura, dan wilayahnya diambil alih oleh Kutai Kartanegara, yang kemudian berganti nama menjadi Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Warisan dan Relevansi Kerajaan Kutai Hari Ini

Meskipun Kerajaan Kutai telah runtuh berabad-abad lalu, warisannya tetap hidup melalui peninggalan sejarah dan nilai budaya yang ditinggalkannya. Prasasti Yupa menjadi bukti tertulis pertama di Indonesia, menandakan berakhirnya zaman prasejarah dan dimulainya era sejarah dengan penggunaan tulisan. Peninggalan ini juga menunjukkan kemajuan intelektual masyarakat Indonesia pada masa itu, yang mampu mengadopsi dan mengembangkan budaya asing tanpa menghilangkan identitas lokal.

Hingga kini, nama Kutai tetap lestari dalam tiga kabupaten di Kalimantan Timur: Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Kutai Barat. Kesultanan Kutai Kartanegara, meskipun tidak lagi memegang kekuasaan administratif, masih dihormati sebagai simbol budaya dan sejarah oleh masyarakat setempat. Sultan Kutai Kartanegara yang tinggal di Kedaton Tenggarong tetap memiliki status kehormatan di kalangan masyarakat.

Kesimpulan

Kerajaan Kutai merupakan bukti nyata kehebatan peradaban awal di Indonesia. Dari pendiriannya oleh Kudungga hingga masa kejayaan di bawah Mulawarman, kerajaan ini menunjukkan kemajuan dalam politik, ekonomi, dan budaya. Peninggalan seperti Prasasti Yupa, kura-kura emas, dan Pedang Sultan Kutai menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu. Meskipun akhirnya runtuh di tangan Kutai Kartanegara, warisan Kerajaan Kutai tetap relevan sebagai bagian penting dari sejarah Indonesia. Mari kita jaga dan lestarikan peninggalan ini agar generasi mendatang bisa mempelajari akar budaya bangsa.