Diksia.com - Setiap tanggal 30 Maret, Indonesia merayakan Hari Film Nasional. Tanggal ini bukan sekadar peringatan, melainkan sebuah penghormatan terhadap tonggak sejarah perfilman Tanah Air.
Lantas, apa yang membuat tanggal 30 Maret begitu istimewa? Mari kita telusuri sejarah panjang Hari Film Nasional dan perkembangan perfilman Indonesia.
Kisah Hari Film Nasional bermula pada tahun 1950. Pada tanggal 30 Maret, sutradara legendaris Usmar Ismail memulai pengambilan gambar untuk film perdananya yang berjudul Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi.
Film ini dianggap sebagai tonggak sejarah perfilman Indonesia karena menjadi film pertama yang diproduksi secara profesional oleh perusahaan film dalam negeri, Perfini.
Usmar Ismail, yang sering disebut sebagai Bapak Perfilman Indonesia, berhasil menghadirkan sebuah karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat akan nilai-nilai kebangsaan dan sosial.
Darah dan Doa mengisahkan perjuangan para pejuang Siliwangi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Film ini tidak hanya dipuji di dalam negeri, tetapi juga meraih penghargaan di berbagai festival film internasional.
Keberhasilan Darah dan Doa menjadi inspirasi bagi perkembangan perfilman Indonesia. Sejak saat itu, industri film Tanah Air terus tumbuh dan berkembang, melahirkan banyak karya-karya berkualitas.
Untuk menghargai jasa-jasa Usmar Ismail dan para sineas Indonesia lainnya, pada tanggal 29 Maret 1999, Presiden B.J. Habibie menandatangani Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1999 yang menetapkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.
Sejak ditetapkannya Hari Film Nasional, perfilman Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Pada era 1960-an dan 1970-an, film-film bertemakan perjuangan dan sosial masih mendominasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, tema film Indonesia semakin beragam, mulai dari komedi, drama romantis, hingga horor.
Munculnya teknologi digital juga memberikan dampak yang signifikan terhadap industri film Indonesia. Proses produksi film menjadi lebih efisien dan biaya yang dibutuhkan pun semakin terjangkau.
Hal ini membuka peluang bagi para sineas muda untuk berkarya dan menghadirkan karya-karya yang inovatif.
Meskipun telah mengalami perkembangan yang pesat, perfilman Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, seperti persaingan dengan film-film asing, pembajakan, dan kurangnya dukungan dari pemerintah.
Namun, di sisi lain, era digital juga membuka peluang yang sangat besar bagi perfilman Indonesia untuk go internasional.
Platform streaming seperti Netflix, Disney+ Hotstar, dan Viu telah memberikan ruang bagi film-film Indonesia untuk menjangkau penonton yang lebih luas.
Selain itu, semakin banyak festival film internasional yang memberikan tempat bagi film-film Indonesia untuk berkompetisi.
Hari Film Nasional merupakan momentum bagi kita untuk merefleksikan perjalanan panjang perfilman Indonesia. Dari Darah dan Doa hingga era digital, perfilman Indonesia telah memberikan banyak kontribusi bagi kebudayaan bangsa.
Untuk terus memajukan perfilman Indonesia, kita perlu memberikan dukungan yang lebih besar kepada para sineas, baik dalam bentuk apresiasi maupun dukungan finansial. Selain itu, kita juga perlu menciptakan ekosistem perfilman yang sehat dan berkelanjutan.
Mari kita sama-sama menjaga dan memajukan perfilman Indonesia agar semakin berkualitas dan mampu bersaing di kancah internasional.