Diksia.com - Serikat Pekerja PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) telah lama memberikan peringatan soal potensi fraud di perusahaan ini sejak tahun 2021. Namun, lambannya respons dari holding, PT Bio Farma (Persero), dianggap memperburuk situasi, sehingga masalah semakin meluas.
Ketua Biro Konseling & Advokasi SP Indofarma, Ahmad Furqon, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah sejak awal mengungkapkan kekhawatiran mengenai keberlangsungan perusahaan farmasi milik negara ini kepada berbagai pihak, termasuk Kementerian BUMN.
Bahkan, laporan ini juga sampai ke telinga salah satu Anggota DPR RI, dan sempat dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada tahun 2021.
“Sejak 2021, saya sudah bilang, tolong perhatikan masalah ini. Jika tidak, dalam 2-3 tahun ke depan perusahaan bisa hancur. Saat itu, manajemen meminta holding untuk melakukan audit investigasi. Namun, kita tidak tahu apakah karena terlambat ditindaklanjuti, maka akhirnya terjadi fraud pada tahun 2023,” ungkap Furqon dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Furqon menilai bahwa pihak holding kurang cepat dalam merespons masalah ini. Bahkan, ketika audit investigasi dilakukan, pejabat yang sedang diaudit malah kembali diberi jabatan pada tahun 2023. Sementara itu, direksi holding tetap dipimpin oleh direktur utama yang sama.
“Saya melihat ada unsur pembiaran dari pihak holding Indofarma. Jika saat itu audit dilakukan secara benar oleh BPK, hal ini tidak akan terjadi. Kami adalah korban,” tegasnya.
Melihat ke belakang, Furqon mengingat dengan jelas awal mula terjadinya dugaan fraud di Indofarma. Saat itu, ia masih menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja Indofarma.
Fraud di Indofarma ini mulai terendus pada awal tahun 2020, ketika perusahaan tersebut hendak membentuk unit bisnis baru yang mengelola produk alat kesehatan. Namun, di waktu yang bersamaan, Indofarma juga diminta untuk mengelola distribusi.
“Kami sudah mengingatkan bahwa perusahaan ini adalah manufaktur, kenapa harus menangani distribusi juga? Inilah yang pada akhirnya memicu terjadinya fraud tersebut,” ujar Furqon.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan temuan mengejutkan saat mengaudit kerugian PT Indofarma Tbk dan anak usahanya. BUMN farmasi ini ternyata terjerat dalam skandal pinjaman online alias pinjol.
Sebelumnya, dugaan fraud yang merugikan negara juga mencuat, dan menyebabkan perusahaan mengalami masalah keuangan.
Temuan tersebut dilaporkan oleh BPK kepada DPR, bersama dengan sejumlah temuan lain terkait aktivitas Indofarma dan anak usahanya, PT IGM, yang menyebabkan perusahaan farmasi ini mengalami kerugian besar.
Laporan ini disampaikan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 oleh BPK kepada DPR, Kamis (6/6/2024).
Ada sejumlah aktivitas yang menyebabkan Indofarma merugi, antara lain melakukan transaksi jual-beli fiktif, menempatkan dana deposito atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara, melakukan kerja sama pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan, penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer, hingga terjerat dalam pinjaman online alias pinjol.
Permasalahan ini mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 294,77 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 164,83 miliar, yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp 122,93 miliar, persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp 23,64 miliar, serta beban pajak dari penjualan fiktif FMCG sebesar Rp 18,26 miliar.