Staycation Sebagai Bentuk Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

RediksiaRabu, 10 Mei 2023 | 21:34 WIB
Ilustrasi Staycation
Ilustrasi Staycation

Diksia.com - Pemberitaan tentang perusahaan yang mensyaratkan staycation bagi karyawan wanita sebagai syarat untuk memperpanjang kontrak kerja mereka, telah menjadi viral di media sosial.

Hal ini sangat memprihatinkan dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia bagi pekerja perempuan.

Sekjen Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menyatakan bahwa pekerja kontrak selama ini memiliki posisi tawar yang sangat rendah dalam hubungan industrial.

Mereka seringkali diperhadapkan pada penilaian subyektif majikan atau pimpinan yang menentukan apakah kontrak kerja mereka diperpanjang atau tidak.

Banyak pelanggaran hak normatif pekerja kontrak, seperti pelanggaran upah minimum, jaminan sosial, K3, THR, hingga pembayaran kompensasi kontrak kerja ketika kontrak kerja jatuh tempo.

Ketika ada protes tentang pelanggaran-pelanggaran hak normatif tersebut, tidak jarang para pekerja diputus kontraknya, dan hal ini menjadi ketakutan bagi pekerja.

Mereka takut menganggur karena diputus hubungan kerjanya.

Tindakan oknum atasan yang mensyaratkan staycation sebagai syarat agar kontrak kerja diperpanjang, merupakan hal yang sangat memungkinkan terjadi.

Informasi dari beberapa teman juga menunjukkan bahwa hal ini memang terjadi.

Kejadian staycation ini harus dihentikan, termasuk pelanggaran hak-hak normatif pekerja lainnya.

Seluruh persoalan ini harus segera direspon dan ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian dan pengawas ketenagakerjaan.

Polisi harus membuka tabir jahat oknum atasan yang memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan pelecehan dan kejahatan seksual terhadap pekerja perempuan.

Namun, pihak kepolisian harus berhati-hati dalam merespon hal ini.

Tidak boleh ada penghentian penyelidikan dan penyidikan perbuatan jahat ini karena adanya pengakuan “suka sama suka” dari kedua belah pihak.

Faktanya, pekerja perempuan mengalami tekanan yang sangat kuat karena takut tidak diperpanjang kontraknya.

Pekerja perempuan harus berani mengungkap masalah ini, dan Polisi segera memproses hukum terhadap oknum atasan yang melakukan tindakan ini.

Polisi dan Pengawas Ketenagakerjaan harus menjamin bahwa pekerja perempuan yang berani melapor tidak akan dirugikan dalam lingkungan kerja mereka.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Polisi harus memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang berani mengungkap masalah ini.

Momentum kasus ini juga harus digunakan oleh Pengawas Ketenagakerjaan untuk merespon pelanggaran hak-hak normatif pekerja yang selama ini terjadi di perusahaan.

Pihak pengawas ketenagakerjaan harus menjamin kerahasiaan pekerja pelapor atas laporan yang disampaikan.

Selain itu, pengawas ketenagakerjaan harus menegakkan aturan dan regulasi yang ada dengan tegas untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Tidak hanya itu, perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif terkait hak-hak pekerja kontrak, terutama hak normatif seperti upah minimum, jaminan sosial, K3, THR, dan lain sebagainya.

Sosialisasi ini harus dilakukan tidak hanya oleh pihak perusahaan, namun juga oleh pihak pemerintah dan organisasi serikat pekerja/buruh.

Hal ini penting dilakukan agar pekerja kontrak lebih paham dan sadar akan hak-haknya, sehingga tidak mudah menjadi korban pelanggaran hak oleh oknum-atumnas yang tidak bertanggung jawab.

Terakhir, sebagai masyarakat kita juga harus turut memperhatikan dan mengawasi perkembangan kasus-kasus serupa.

Jangan ragu untuk melaporkan jika menemukan indikasi pelanggaran hak pekerja kontrak, khususnya dalam hal syarat staycation yang merugikan dan meresahkan para pekerja perempuan.

Kita semua harus bersama-sama mengambil tindakan dan memperjuangkan hak-hak pekerja, terutama pekerja kontrak yang seringkali menjadi korban pelanggaran hak.

Dengan begitu, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi semua pekerja tanpa terkecuali.