Protes Mahasiswa, Soal KPU Hapus Kewajiban Lapor Sumbangan Kampanye

RediksiaKamis, 8 Juni 2023 | 20:20 WIB
Koordinator Pengurus Kajian dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, A Fahrur Rozi
Koordinator Pengurus Kajian dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, A Fahrur Rozi. (Foto: AMHTN-SI)

Diksia.com - Keputusan KPU untuk menghapus kewajiban peserta pemilu dalam menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) menuai penolakan dari Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara se-Indonesia (AMHTN-SI).

Menurut mereka, langkah KPU tersebut merupakan kemunduran dari aturan pemilu sebelumnya.

“AMHTN-SI menolak penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye,” ungkap A Fahrur Rozi, Koordinator Kajian dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (8/6/2023).

Menurut AMHTN-SI, keputusan KPU tersebut akan mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam pemilu. Mereka khawatir bahwa asal-usul dana politik akan menjadi kabur dan sulit dilacak.

“Dengan penghapusan laporan penerimaan sumbangan tersebut, kita tidak dapat mengetahui dari mana dana yang digunakan oleh partai politik dan kandidat dalam melakukan kampanye dan rapat umum di tempat terbuka,” ujar Fahrur Rozi.

Rozi menganggap alasan KPU dalam menghapus laporan penerimaan sumbangan tidak masuk akal karena tidak diatur dalam undang-undang.

Pasal 325 ayat (2) butir c Undang-Undang Pemilu menyatakan bahwa sumbangan dana politik yang diterima haruslah sah menurut hukum.

Tidak mungkin mengukur keabsahan sumbangan politik jika asal-usulnya tidak diketahui. LPSDK memungkinkan pelacakan asal-usul dana politik partai politik dan kandidat.

“Kita tidak dapat memastikan apakah sumbangan tersebut sah atau tidak secara hukum jika indikasi pelaporannya saja telah dihapus,” tambah Rozi.

Akhirnya, KPU dituntut untuk melakukan evaluasi terhadap keputusan penghapusan LPSDK pada pemilu mendatang.

Pengaturan dana kampanye sangat penting dalam meminimalkan kecurangan dalam pemilu.

Bahkan, Undang-Undang Pemilu juga membatasi jumlah sumbangan baik dari individu (Rp 2,5 miliar) maupun korporasi (Rp 25 miliar).

Pengaturan ini merupakan bentuk kesungguhan dalam memutus rantai korupsi dan eksploitasi kekayaan.

Dana kampanye menjadi utang transaksional di awal yang harus dibebankan kepada kandidat yang terpilih.

Hal ini memungkinkan terjadinya pembagian proyek dan penjualan izin untuk eksploitasi hak rakyat dan kekayaan alam. Setidaknya, dengan LPSDK, dana ilegal seperti ini dapat diminimalisir sebaik mungkin.

“KPU harus menyadari bahwa kualitas pelaksanaan pemilu akan mempengaruhi legitimasi hasil pemilu,” jelasnya.

Alasan KPU Komisioner KPU, Idham Khalik, menjelaskan bahwa penghapusan kewajiban LPSDK untuk Pemilu 2024 didasarkan pada alasan bahwa tidak ada aturan dalam Undang-Undang Pemilu.

Alasan lainnya adalah kurangnya waktu bagi partai politik untuk melaporkan.

Menurutnya, penyumbang dana kampanye juga harus berasal dari kelompok yang memiliki badan hukum.

Keputusan ini telah dipertimbangkan bersama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“LPSDK dihapus karena tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu,” kata Idham dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, Senayan, Jakarta, pada 29 Mei lalu.

Di sisi lain, KPU juga sedang mempersiapkan Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), yang merupakan alat untuk menjamin transparansi dan pengawasan terhadap Dana Kampanye (RKDK) peserta pemilu.

RKDK akan menjadi tempat penerimaan seluruh dana kampanye dalam bentuk uang sebelum digunakan untuk kegiatan kampanye.

Sumber: https://news.detik.com/pemilu/d-6762029/kpu-hapus-kewajiban-parpol-lapor-sumbangan-kampanye-mahasiswa-menolak