Diksia.com - Fenomena anomali iklim La Nina resmi dinyatakan telah mereda pada pertengahan Maret 2025. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis Analisis Dinamika Atmosfer Dasarian I Maret 2025 pada Kamis (13/3/2025), yang mengungkapkan bahwa indeks Indian Ocean Dipole (IOD) berada pada kisaran netral dengan nilai -0,31.
Fase netral ini diperkirakan akan bertahan hingga paruh kedua tahun ini. Sementara itu, anomali suhu permukaan laut (SST) di wilayah Nino 3.4 mencatatkan indeks 0,30, menandakan kondisi El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga netral dan stabil hingga semester kedua 2025.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengukuhkan temuan ini dalam konferensi pers virtual hari ini. “La Nina telah usai. Musim kemarau tahun ini akan berlangsung normal. Semoga kondisi cuaca mendukung aktivitas masyarakat,” ujarnya optimistis.
Kapan Musim Kemarau Bermula?
Transisi menuju musim kemarau di Indonesia diprediksi berlangsung bertahap. Dwikorita menjelaskan bahwa sejumlah wilayah akan mulai merasakan kekeringan sejak Maret hingga April 2025.
“Secara spesifik, musim kemarau 2025 telah dimulai pada Maret ini di enam zona musim, atau setara 0,86% dari total zona musim nasional,” ungkapnya.
Perubahan ini tak lepas dari pergantian pola angin. Angin monsun Asia yang berciri basah mulai beralih menjadi angin monsun Australia yang kering. “Awal musim kemarau selalu berkaitan erat dengan peralihan angin ini,” tambah Dwikorita.
Wilayah Terdampak dan Perkembangannya
Pada April mendatang, kekeringan akan melanda beberapa kawasan seperti Lampung bagian timur, pesisir utara Jawa Barat, pesisir Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, hingga Nusa Tenggara Timur.
Memasuki Mei, cakupan musim kemarau diperkirakan meluas. Sebagian kecil Sumatra, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Papua bagian selatan akan turut terdampak.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menegaskan bahwa musim kemarau tahun ini bersifat normal tanpa gangguan signifikan dari ENSO atau IOD.
“Kondisi iklim laut tidak mendominasi. Ini berarti musim kemarau 2025 akan serupa dengan 2024, tidak se ekstrem 2023 yang memicu kebakaran hutan massal,” jelasnya. Meski begitu, hujan ringan tetap mungkin terjadi di beberapa wilayah dengan karakteristik musim kemarau di atas normal.
Antisipasi di Berbagai Sektor
Dwikorita menyerukan langkah adaptasi, terutama di sektor pertanian. Wilayah yang mengalami kekeringan dini disarankan menyesuaikan jadwal tanam, memilih tanaman tahan kering, dan mengelola irigasi secara efisien.
Sebaliknya, daerah dengan musim kemarau lebih basah bisa memanfaatkan curah hujan untuk memperluas areal persawahan guna mendongkrak hasil panen.
Di sisi kebencanaan, kewaspadaan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) perlu ditingkatkan, khususnya di zona rawan dengan curah hujan normal atau di bawah normal. “Kesiapsiagaan adalah kunci untuk meminimalkan risiko,” tegas Dwikorita.
Musim kemarau 2025 tampaknya akan berjalan tanpa gejolak iklim global yang berarti. Namun, variasi regional tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan strategi tepat.