Uni Eropa Rancang Sanksi Baru untuk Israel di Tengah Krisis Gaza

Muhamad Adin ArifinKamis, 18 September 2025 | 14:48 WIB
Uni Eropa Rancang Sanksi Baru untuk Israel di Tengah Krisis Gaza
Sebuah komisi yang ditunjuk PBB menemukan bahwa kegiatan Israel di Gaza bertujuan untuk menghancurkan rakyat Palestina (EYAD BABA/AFP/Getty Images)

Diksia.com - Krisis kemanusiaan di Gaza kian meruncing. Uni Eropa (UE) menggagas sanksi baru terhadap Israel. Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Kaja Kallas, mengusulkan pembatasan perdagangan serta larangan masuk bagi sejumlah menteri Israel dari faksi sayap kanan, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.

“Tindakan ini bukan untuk mencela Israel, melainkan untuk meredakan penderitaan kemanusiaan di Gaza,” tegas Kallas. Perang harus dihentikan, sandera dibebaskan, dan penderitaan rakyat sipil diringankan.

Namun, konsensus di antara 27 negara anggota UE masih diragukan. Kritik tajam mengalir, menyoroti kegagalan UE menekan Israel untuk mengakhiri konflik. Juru bicara pemerintah Jerman menyatakan Berlin mengetahui usulan tersebut, tetapi belum memutuskan sikap.

Sementara itu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengumumkan rencana penghentian bantuan dana kepada Israel, dengan langkah lanjutan tengah dipertimbangkan.

Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar, pada Selasa (16/09), menyebut sanksi perdagangan UE sebagai langkah “tidak proporsional” dan “belum pernah terjadi sebelumnya.” Di tengah polemik ini, militer Israel terus memperluas operasinya di Kota Gaza.

Agresi Militer Israel di Gaza Makin Ganas

Militer Israel melancarkan serangan masif. Lebih dari 150 serangan udara dan artileri menghantam Gaza, mempersiapkan invasi darat. Pada Rabu (17/09), tank dan pasukan Israel merangsek lebih dalam ke jantung Kota Gaza.

Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas melaporkan korban jiwa telah melampaui 65.000 orang. Serangan ini memutus akses telepon dan internet, menyulitkan warga memanggil ambulans di tengah gempuran.

Israel membuka koridor evakuasi di selatan Gaza selama dua hari sejak Rabu (17/09). Namun, langkah ini tidak meredakan kepanikan warga.

Trauma dan Keputusasaan Pengungsi Gaza

Sejak pengumuman serangan militer pada 10 Agustus 2025, sekitar 400.000 warga—40% populasi Kota Gaza—telah mengungsi. Kantor media Gaza melaporkan 190.000 orang menuju selatan, sementara 350.000 lainnya berpindah ke wilayah tengah dan barat. Israel memperkirakan 100.000 warga sipil masih bertahan di Gaza.

Juru bicara UNICEF di Gaza, Tess Ingram, menggambarkan situasi mengerikan kepada DW. “Warga ketakutan, baik saat bertahan di Gaza maupun saat mengungsi,” ujarnya.

Zona kemanusiaan Al Mawasi, yang dijanjikan sebagai tempat aman, justru kekurangan pasokan dasar. Dalam dua minggu terakhir, serangan di kawasan ini menewaskan delapan anak yang berusaha mengakses air minum.

“Keluarga kelelahan, trauma. Anak-anak berjalan berjam-jam di atas puing tanpa alas kaki, kaki mereka berdarah, menuju ketidakpastian,” papar Ingram.

Bantuan kemanusiaan saat ini jauh dari cukup. Ingram mendesak pembukaan semua jalur penyeberangan ke Gaza untuk memenuhi kebutuhan mendesak ratusan ribu pengungsi.

Laporan PBB: Israel Dituduh Lakukan Genosida

Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB menegaskan Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 2023. Laporan menyebut empat dari lima tindakan genosida berdasarkan Konvensi Genosida PBB 1948 telah terjadi.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant dituding sebagai perencana. Kesimpulan ini selaras dengan temuan asosiasi sarjana genosida dan kelompok hak asasi internasional.

Krisis Gaza terus menuntut solusi segera. Tekanan internasional meningkat, namun perdamaian tampak kian sulit diraih.

Sumber: detikcom