Genosida Zionis Israel, SIAPA yang Masih Percaya PBB dan Uni Eropa?

RediksiaKamis, 7 Maret 2024 | 20:36 WIB
Genosida Zionis Israel, SIAPA yang Masih Percaya PBB dan Uni Eropa?
PORAK-PORANDA: Warga memeriksa lokasi pasca serangan bom Israel di kamp pengungsian Jabalia di Jalur Gaza, Palestina, Rabu (1/11). (AFP)

Diksia.com - SIAPA yang masih percaya bahwa Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa akan tegas menentang genosida yang tengah berkecamuk di Palestina, sebaiknya mengulik kisah gelap negeri yang pernah terancam “dikuburkan” tanpa suara: Bosnia Herzegovina.

Sehari sebelum perayaan Bajram (Hari Idul Adha) pada 1 Mei 1993, kesejahteraan warga Sarajevo terasa melalui pertemuan riang di taman-taman berbunga dan lelucon di atas jembatan-jembatan yang melintasi sungai-sungai jernih, serta aktivitas membagi kue dan uang kepada anak-anak kecil yang berlari-lari mengunjungi rumah kerabat.

Namun, serangan ratusan mortir, ledakan granat, dan tembakan senjata dari tentara Serbia mengubah hari bahagia menjadi mimpi buruk sepanjang masa. Bosnia menjadi monumen terbaik kemunafikan PBB, Eropa, dan sekutunya.

“Cetnik (kaum nasionalis Serbia) merampas segalanya milik saya,” ujar Mitrat Zuplevic, seperti yang tercatat dalam buku “Dor Sarajevo, Sebuah Rekaman Jurnalistik Nestapa Muslim Bosnia” karya wartawan senior Farid Gaban dan Zaim Uchrowi.

Serangan Serbia terhadap Bosnia, hanya karena negeri ini menyelenggarakan referendum yang mendukung kemerdekaan dari federasi Serbia yang diakui oleh PBB, menciptakan kebencian yang meledak ke angkasa.

Slobodan Milosevic, Presiden Serbia, memerintahkan tentara untuk membantai anak-anak, memperkosa perempuan, bahkan membunuh bayi dalam kandungan ibu, serta menghancurkan desa dan kota dengan perintah tegas: “pembersihan etnik” Bosnia.

Kisah pembersihan etnik Muslim Bosnia menjadi sorotan media massa sepanjang 1992 dan 1993. Genosida dilakukan secara brutal dan terang-terangan. Majalah The Economist merangkum skala kekejamannya, menyebutnya sebagai “tragedi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.” Ironisnya, kebiadaban ini terjadi di jantung Eropa yang selama ini dianggap “beradab,” hanya dua jam penerbangan dari Swiss, Prancis, Austria, atau Italia.

PBB, contohnya, menjadi tumpul saat bantuan kemanusiaan UNHCR menuju Srebrenica selalu diserang oleh tentara Serbia. Meskipun pada 9 Oktober 1992 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi larangan terbang di wilayah Bosnia, langkah ini dilanggar berulang kali tanpa sanksi yang signifikan.

Puncaknya, PBB dan Uni Eropa menawarkan solusi yang tidak hanya merugikan Bosnia, tetapi juga beraroma apartheid: membagi Bosnia menjadi tiga republik mini berdasarkan etnis (Muslim 30 persen, Serbia 51 persen, dan Kroasia 19 persen). Kesepakatan ini dibuat ketika Bosnia terdesak oleh invasi brutal Serbia.

PBB dan Uni Eropa tidak hanya gagal menghukum kejahatan perang Serbia, tetapi juga menjadi sponsor sistem apartheid di jantung Eropa, yang disertai dengan kekejian genosida terhadap warga Bosnia.

“Kami berperang sendirian,” keluh Zuplevic pada puncak kekejian perang di Bosnia. Namun, sebenarnya, Zuplevic tidak pernah benar-benar sendirian. Di belahan bumi lain, ada bangsa yang telah diabaikan selama hampir 60 tahun, diusir, dipermalukan, kehilangan tidak hanya tubuhnya tetapi juga pemikiran, sejarah, dan bahasanya dari tanah airnya sendiri: Palestina.

Israel, bangsa yang sebelumnya menjadi “korban” genosida, ternyata tidak hanya gagal bersolidaritas, tetapi malah menjadi pelaku genosida. Dan Barat, yang rajin mendirikan museum Holocaust sebagai bentuk solidaritas kepada orang Yahudi yang menderita di Eropa pada masa Hitler, tampaknya kurang peduli terhadap penderitaan orang Palestina.

Perang untuk membalas dendam, didasarkan pada kebanggaan nasional dan kebencian ras dan etnis, menjadi kenyataan. Dari mulut seorang rabi saat penguburan Baruch Goldstein, seorang zionis yang tewas setelah memporak-porandakan warga Palestina yang sedang sholat Subuh di Masjid Ibrahim, Hebron: “Sejuta orang Arab tak seberharga sepotong kuku jari tangan orang Yahudi.” Glorifikasi kebrutalan dan ketidakberdayaan manusia diucapkan dengan enteng oleh rabi itu.

Kemudian, kita menyaksikan kekejaman yang tak terbayangkan. Tentara Israel tiba-tiba menembaki kerumunan warga Palestina yang antre di sekitar truk bantuan makanan yang tak pernah datang sejak Januari 2024. Banyak bayi yang meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi karena tak ada susu dan makanan.

Kaum perempuan dan anak-anak menyerbu truk bantuan kemanusiaan sebagai upaya bertahan. Ini dianggap sebagai ancaman dan dijawab dengan berondongan senjata. Ratusan warga sipil tewas, terutama perempuan dan anak-anak.

Rumah sakit dan kamp pengungsi menjadi wilayah yang tidak aman. Rumah sakit di Palestina (dan juga rumah sakit di Indonesia) dikepung dan dihujani bom dengan kejam. Bantuan obat-obatan dihentikan, listrik untuk mengoperasikan peralatan medis dan pasokan air bersih dimatikan. Pasien mati satu per satu di hadapan tenaga medis yang tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan, tak sedikit tenaga medis yang menjadi target tembakan tentara Israel.

Kekejaman semakin meningkat: tentara Israel menyamar sebagai tenaga medis dan menembaki pasien di dalam rumah sakit di Jenis, Palestina. Dengan senjata otomatis berperedam, serangan itu terbukti sangat “efektif”: pemuda Palestina yang tengah dirawat tewas.

Bahkan, jenazah pun tidak aman. Jenazah-jenazah dicuri di jalan, diputilasi, dan organ-organ vital diambil dari tubuh warga Palestina yang sudah meninggal.

Dengan nalar manusia, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa yang terjadi di Palestina saat ini adalah pembersihan etnis alias genosida.

Namun, sejarah dunia tetap menyimpan harapan. Afrika Selatan, negara yang pernah menderita akibat politik apartheid, mengajukan gugatan kejahatan perang atas genosida Israel terhadap Palestina di Mahkamah Internasional. Afrika Selatan maju menggugat Israel karena merasakan sendiri kejahatan hidup berdasarkan pemisahan ras dan perkauman.

Di hadapan 17 hakim internasional pada sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, suara Dubes Afrika Selatan untuk Belanda, Vusimuzi Madonsela, bergema:

“Kami sebagai orang Afrika Selatan merasakan hingga ke belahan hati kami, praktik-praktik rezim Israel sebagai bentuk yang lebih ekstrim dari apartheid, yang pernah dilembagakan terhadap orang kulit hitam di negara kami sejak tahun 1948 hingga tahun 1994. Ini harus dihentikan.”

Gugatan Afrika Selatan diterima. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Israel, sebagai kekuatan pendudukan, harus mencegah genosida. Sebagian besar dari 17 hakim panel mendukung tindakan segera untuk menghentikan perang di Gaza.

Meskipun kekejaman tidak berhenti di Gaza, solidaritas dari negara-negara Selatan muncul. Bangsa-bangsa yang pernah terjajah di Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan bersatu. Bagi yang masih mempercayai PBB dan Uni Eropa, bacalah sejarah Bosnia.

Sumber: https://www.tvonenews.com/berita/opini/191830-genosida-zionis-israel