Puncaknya, PBB dan Uni Eropa menawarkan solusi yang tidak hanya merugikan Bosnia, tetapi juga beraroma apartheid: membagi Bosnia menjadi tiga republik mini berdasarkan etnis (Muslim 30 persen, Serbia 51 persen, dan Kroasia 19 persen). Kesepakatan ini dibuat ketika Bosnia terdesak oleh invasi brutal Serbia.
PBB dan Uni Eropa tidak hanya gagal menghukum kejahatan perang Serbia, tetapi juga menjadi sponsor sistem apartheid di jantung Eropa, yang disertai dengan kekejian genosida terhadap warga Bosnia.
“Kami berperang sendirian,” keluh Zuplevic pada puncak kekejian perang di Bosnia. Namun, sebenarnya, Zuplevic tidak pernah benar-benar sendirian. Di belahan bumi lain, ada bangsa yang telah diabaikan selama hampir 60 tahun, diusir, dipermalukan, kehilangan tidak hanya tubuhnya tetapi juga pemikiran, sejarah, dan bahasanya dari tanah airnya sendiri: Palestina.
Israel, bangsa yang sebelumnya menjadi “korban” genosida, ternyata tidak hanya gagal bersolidaritas, tetapi malah menjadi pelaku genosida. Dan Barat, yang rajin mendirikan museum Holocaust sebagai bentuk solidaritas kepada orang Yahudi yang menderita di Eropa pada masa Hitler, tampaknya kurang peduli terhadap penderitaan orang Palestina.
Perang untuk membalas dendam, didasarkan pada kebanggaan nasional dan kebencian ras dan etnis, menjadi kenyataan. Dari mulut seorang rabi saat penguburan Baruch Goldstein, seorang zionis yang tewas setelah memporak-porandakan warga Palestina yang sedang sholat Subuh di Masjid Ibrahim, Hebron: “Sejuta orang Arab tak seberharga sepotong kuku jari tangan orang Yahudi.” Glorifikasi kebrutalan dan ketidakberdayaan manusia diucapkan dengan enteng oleh rabi itu.
Kemudian, kita menyaksikan kekejaman yang tak terbayangkan. Tentara Israel tiba-tiba menembaki kerumunan warga Palestina yang antre di sekitar truk bantuan makanan yang tak pernah datang sejak Januari 2024. Banyak bayi yang meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi karena tak ada susu dan makanan.
Kaum perempuan dan anak-anak menyerbu truk bantuan kemanusiaan sebagai upaya bertahan. Ini dianggap sebagai ancaman dan dijawab dengan berondongan senjata. Ratusan warga sipil tewas, terutama perempuan dan anak-anak.