“Kesepakatan pada Februari 2020 tersebut mencakup perundingan damai dalam negeri Afghanistan, di mana Taliban akan berunding langsung dengan pemerintah Afghanistan,” ujar Alema.
“Kami sudah bersiap untuk itu. Di Kementerian Perdamaian, saya telah membentuk berbagai kelompok kerja dan mengembangkan panduan serta dukungan dari berbagai LSM di 34 provinsi di negeri ini,” tambahnya.
“Tetapi, tak nampak minat dari pihak Taliban untuk berbicara dengan kami. Mereka sadar bahwa AS akan meninggalkan Afghanistan. Mereka tak berniat mengalah. AS membuat mereka tampak lebih teratur, seiring dengan perubahan Taliban.”
Kesepakatan yang meruntuhkan semangat Afghanistan
Percakapan langsung dengan AS justru memberikan pengakuan internasional bagi Taliban. Kelompok ini telah menandatangani perjanjian dengan AS di Doha, yang pada awalnya diharapkan membawa perdamaian untuk Afghanistan.
Nyatanya, perjanjian ini malah meruntuhkan semangat tentara Afghanistan dan mengurangi semangat perlawanan terhadap gerakan pemerintahan Taliban.
“Apa yang terjadi di Afghanistan pada Agustus 2021 bukanlah kemenangan militer bagi Taliban, melainkan hasil dari keputusan politik,” tegas Khushal Asefi, jurnalis serta mantan direktur pelaksana Ariana Radio & Television.
“Tak ada yang tahu apa yang terjadi dalam perundingan dengan Taliban. Nampaknya, negara-negara Barat telah mencabut dukungan mereka terhadap pemerintah Afghanistan pada saat itu,” tandasnya.
Asefi terpaksa meninggalkan Afghanistan sesaat setelah Taliban mengambil alih kekuasaan, lantaran dia tak lagi melihat masa depannya di sana dan merasa khawatir akan keselamatannya.
“Perkembangan dalam dua tahun terakhir ini hanya memperlihatkan bahwa negara ini telah diberikan kepada Taliban. Sepertinya, tak peduli betapa besar kekacauan yang mereka sebabkan,” ucapnya.
“Mungkin, pernyataan protes hanya diterbitkan sebagai tanda kecaman atas tindakan Taliban. Masyarakat Afghanistan merasa tertekan dan lelah. Ekonomi merosot dan lebih dari 20 juta orang hidup dalam kondisi miskin. Warga berjuang demi bertahan,” demikian ungkap Asefi.
Arwin, aktivis hak-hak perempuan, turut menggarisbawahi penderitaan yang melingkupi masyarakat Afghanistan dalam dua tahun terakhir ini. Ia menyatakan bahwa, “banyak yang hanya berpikir tentang bagaimana caranya untuk meninggalkan negara ini.”