Bahkan sebelum Kabul jatuh, Taliban telah lambat namun pasti menguasai sebagian besar wilayah pedesaan di Afghanistan. Di daerah-daerah di bawah kendali mereka, kehidupan perempuan dan gadis-gadis hampir sepenuhnya terkekang.
Peran tradisional perempuan sebagai anak perempuan, istri, atau ibu, tak jauh berbeda dari masa pemerintahan Taliban di antara tahun 1996 hingga 2001. Pada masa itu, wanita dan gadis-gadis pun dilarang belajar dan bekerja, hanya boleh meninggalkan rumah jika ditemani oleh kerabat laki-laki.
Banyak perempuan bahkan sering menerima hukuman cambukan di depan publik atau bahkan dieksekusi, andai mereka melanggar peraturan yang ditegakkan oleh pemerintahan Taliban.
Momen sekarang hampir tak dapat dibedakan dengan kebijakan yang diterapkan pada era 1990-an, seperti yang diungkapkan oleh Alema Alema, mantan wakil menteri perdamaian Afghanistan, dalam percakapan bersama DW.
Sebelum Taliban berkuasa, Kementerian Perdamaian memainkan peran kunci dalam perundingan perdamaian domestik Afghanistan. Tetapi, begitu pemerintahan ini dikuasai Taliban, kementerian tersebut lenyap dari eksistensi.
Pada kesempatan ini, Taliban jauh lebih bijaksana dan terampil dibanding saat pertama kali mereka berkuasa, begitu kata Alema. “Sejak tiba di posisi kekuasaan, mereka telah memutuskan 51 larangan yang merugikan kaum perempuan, lebih dari satu larangan dalam sebulan,” tandasnya.
“Tindakan mereka tak diumumkan semua sekaligus, mungkin agar dunia tidak gentar. Di Afghanistan, mereka harus bersikap lebih hati-hati dahulu agar tak menciptakan permusuhan dalam masyarakat, sebelum mereka mengokohkan kendali mereka.”
Melarikan diri dengan tergesa-gesa dari medan perang
Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan mantan Presiden Donald Trump memulai pembicaraan langsung dengan Taliban pada tahun 2018. Alema, yang saat ini tinggal di Jerman, percaya bahwa hasilnya akan berbeda andai pemerintah AS melibatkan pemerintah Presiden Ghani serta pakar-pakar lokal dalam proses tersebut.